PORTAL JABAR,- Seperti kita ketahui, Plato adalah salah satu tokoh pertama yang terkemuka dalam berbagai bidang kajian keilmuan. Pengalamannya dalam mencari pembelajaran membuatnya menggandrungi lebih dari satu kajian ilmu. Atas berbagai dasar pemikirannya, Plato berkontribusi untuk sejumlah keilmuan seperti Sains, Matematika, Penulis dialog Filosofis, Psikologi dan Filsafat (Burhanuddin, 2013). Plato lahir di Athena, pada tahun 427/428 SM.
Pada masa kecilnya, Plato mendapatkan pelajaran mengenai musik, melukis dan juga puisi, Selain itu juga ia mendapat pelajaran umum. Bahkan Plato kecil sudah sering menghasilkan karya berupa karangan sajak Ada pun kajian ilmu Filsafat yang Plato dapatkan berasal dari gurunya yang bernama Kratylos, yang merupakan murid dari Herakleitos. Kemudian sejak Plato berumur 20 tahunan dia mulai berguru kepada Sokrates.
Selama berguru kepada Sokrates, Plato mendapatkan banyak pelajaran-pelajaran yang menjadi sebuah kepuasan baginya. Plato menjadikan Sokrates sebagai guru yang paling dipujanya. Dalam karangannya yang berbentuk tanya jawab, Sokrates dijadikan sebagai guru yang menuntun. Jadi, ajaran Plato banyak diproyeksikan dengan tutur dari Sokrates (Burhanuddin, 2013). Selai itu, ia terlahir dari keluarga Aristokrasi yang turun-temurun memegang posisi penting dalam dunia politik di Atena. Ia pun memiliki cita-cita sejak muda untuk menjadi salah satu bagian dari petinggi negara (Wink, 2009) Namun, situasi politik pada masa itu tidak mendukung keinginannya (Muria, 2020). Oleh karena itu, Plato memiliki kontribusi pemikirannya terkait politik dan negara.
Namun, sebelum merujuk kepada perspektifnya terhadap negara, terdapat beberapa ajaran Plato juga yang berpengaruh yaitu Idea, jiwa dan negara. Sejumlah tokoh berusaha memahami isi buku karya Plato yang berjudul ‘Republik’, salah satunya yaitu Bertand Russel memahami teori Idea Plato adalah sebuah pandangan Plato terkait sesuatu yang ada terwujud karena adanya idea satu yang menyebabkan patikular atau idea yang lain. sedangkan idea asli itu adalah sesuatu yang mewujudkan yang lain (Lidinilah, 2020). Juga, idea bersifat objektif, berdiri sendiri, lepas dari subjek yang berpikir, tidak bergantung kepada pemikiran. Sedangkan jiwa bagi Plato Jiwa mempunyai eksistensi (ousia), sejauh ia memiliki relasi dengan sesuatu yang mempunyai nama akan ‘apa’nya, dengan idea-existence. Yang kemudian, yakni idea-idea diintuisikan oleh jiwa pengingat, dan kehidupan di bumi merupakan meditasi atas kematian (Simorangkir, 2004). Kemudian, negara bagi Plato adalah Seluruh usaha yang dilakukannya adalah untuk memperbaiki negara. Etika dan filsafat negara erat sekali hubungannya.Tugas-tugas etis manusia dikaitkan dengan kedudukannya sebagai warga negara. Bahkan hasil kajian ahkan hasil kajian memperlihatkan bahwa ide utama filsafat sosial-politik Plato adalah untuk menciptakan suatu negara yang adil dapat memberikan kebahagiaan untuk semua warganya selama negara tersebut mampu untuk mengondisikan semua warganya sebagai orang yang baik (Ruswantoro, 2015).
Jika Plato memandang demikian, Thomas Hobbes justru mengibaratkan negara sebagai Leviathan, yaitu sejenis monster (makhluk raksasa) yang ganas, bengis dan menakutkan yang telah dikisahkan dalam Perjanjian lama. Negara kekuasaan sebagai Leviathan dapat menimbulkan rasa takut terhadap siapa pun yang lancang melanggar hukum negara. Serta jika warga negara berani melanggar hukum, maka negara Leviathan tidak akan segan menjatuhkan vonis hukuman mati. Negara baginya harus memiliki karakteristik harus kuat, jika lemah maka akan menimbulkan perilaku anarkis, perang dan mengakibatkan kekuasaan negara dapat terbelah. Apa pun kritik terhadap negara Leviathan, Hobbes beranggapan bahwa negara seperti itu adalah bentuk negara terbaik (Dorelagu, 2019).
Selanjutnya, pandangan lain dari Pemikiran Aristoteles tentang negara Sedangkan warga negara menurut Aristoteles adalah seluruh manusia yang menjadi komponen tubuh politik yang terdiri dari bagian-bagian untuk membentuk negara.Warga negara dalam konteks pemikiran Aristoteles di sini tidak termasuk mereka kaum petani dan mekanik. Karena bagi Aristoteles yang berhak menyadang status warga negara hanyalah mereka yang memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dengan memiliki nalar berpolitik dan kedudukan dalam Polis. Aristoteles juga menekankan tentang hubungan negara dan warga negara sebagai partner untuk mewujudkan tujuan negara yakni kebaikan bersama (bonum commune). Negara haruslah menjadi sarana perwujudan hidup baik setiap elemen masyarakat. Dalam perwujudan, warga negara tidaklah menjadi elemen masyarakat yang hanya mengembangkan sikap individualistis tapi harus menjadi partner negara yang sungguh menciptakan kesehjahteraan bagi setiap masyrakat (Nanang, 2020).
Selanjutnya, John Locke terkenal dengan teori Pembatasan Kekuasaan Negara. Menurut Locke Pembatasan Negara dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu: Cara pertama adalah dengan membentuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang ditentukan oleh parlemen berdasarkan prinsip mayoritas. Cara kedua adalah adanya pembagian kekuasaan dalam tiga unsur atau lebih dikenal dengan sebutan Trias Politika yaitu pembagian kekuasaan berdasarkan legislatif, eksekutif, dan federatif. John Locke berusaha menggabungkan teori empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descrates. Penggabungan ini menggabungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia (Hardiman, 2017).
Atas perspektif tersebut, dapat disimpulkan bahwa pandangan masing-masing tokoh sangat berbeda bahkan bertentangan. Plato dengan etika dan filsafat untuk kenyamanan warga negara, Aristoteles dengan pandangan kemampuan warga dalam keterlibatannya pada negara, Hobbes dengan pandnagan bahwa negara adalah monster atau makhluk yang bengis, serta John Locke dengan pembatasan kekuasaan negara dengan membentuk konstitusi dan undang-undang dasar.
Kemudian, berdasarkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Plato dalam mengarungi kajian keilmuan berguru pada Sokrates. Dalam hal ini, saya memilih bagaimana perspektif Plato karena Sokrates juga dirasa memiliki pandangan yang tepat terhadap negara. Socrates menyatakan bahwa tugas negara adalah mendidik warga negara dalam keutamaannya, yaitu memajukan kebahagiaan warga negara dan membuat jiwa mereka sebaik mungkin. Pemikiran ini berkembang pada kondisi polis yang penuh dengan penyalahgunaan penguasa akibat ajaran para sophis yang menyesatkan (keadilan dalam negara merupakan segala hal yang menguntungkan bagi para penguasa negara, jadi hukum bersifat subyektif) (Syafaat, 2017). Bahkan, sebagai bentuk hormatnya kepada Sokrates, Plato melanjutkn pandangannya yang kemudian dibukukan oleh Plato ketika Sokrates meninggal karena minum racun.
Selanjutnya, bagi Plato, untuk membangun sebuah negara yang ideal diperlukan sebuah konsep tentang negara yang baik. Menurutnya, negara yang ideal harus terdapat tiga golongan yang menjadi bagian terpenting dalam sebuah negara yakni:
- Golongan yang tertinggi, terdiri dari orang-orang yang memerintah yakni seorang filosof.
- Golongan pelengkap atau menengah yakni yang terdiri dari para prajurit, untuk menjaga keamanan negaradan menjaga ketaatan para warganya.
- Golongan terendah atau golongan rakyat biasa, yakni yang terdiri para petani, pedagang, tukang, yang bertugas untuk memikul ekonomi negara.
Atas teorinya tersebut, jika dianalisis lebih rinci, terdapat hubungannya dengan sistem negara Indonesia saat ini. Pada golongan tertinggi, bisa disebut sebagai Pemimpin negara serta Pemimpin pada masing-masing otonomi daerahnya. Yang kemudian prajurit yang disebutkan pada golongan pelengkap adalah komponen pembela negara yaitu Kepolisian Republik Indonesia POLRI), serta komponen pertahanan negara yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini didasarkan pula pada UUD Pasal 30 ayat 1 sampai 5.
Kemudian pada golongan terendah adalah rakyat sebagai komponen pendukung dalam upaya pembelaan serta pertahanan negara yang didasarkan pada UUD Pasal 27 ayat 23.
Meskipun teori Plato mirip dengan sistem kasta dalam pemerintahan dan Indonesia sebagai negara Republik, Indonesia dengan teori Negara Plato memiliki kesamaan dalam tujuan negara adalah untuk memajukan kebahagiaan serta keadilan negara dengan sebaik mungkin.
Selain itu, pembentukan dasar negara bagi Plato adalah perilaku manusia dan cita-cita tersebut harus dijalani manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut manusia tidak bisa melakukan sendiri, dan sesuai keahliannya masing-masing manusia saling membantu dengan pembagian tugas masing-masing.
Hal tersebut sama halnya dengan negara Indonesia, yang pada dasarnya memiliki keterikatan dengan lingkungan sekitar yang disebut dengan hubungan sosial. Manusia tidak mampu melakukan segalanya sendiri meskipun secara sebagian besar manusia melakukannya atas kemampuan sendiri. Manusia bisa saling bergotong royong untuk mewujudkan negara Indonesia yang berlandaskan kepada Pancasila dan Ideologi Negara.
Atas ulasan tersebut, kesimpulan yang dapat saya ambil adalah adanya kesamaan atau kesesuaian antara teori Plato mengenai negara dengan sistem politik-sosial negara Indonesia.
Daftar Pustaka
- Burhanuddin, A. (2013, September 21). Afid Burhanuddin: Ide Kita untuk Kita. Retrieved Desember 1, 2020, from afidburhanuddin.wordpress.com: https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/pemikiran-plato/
- Dorelagu, F. (2019, September 5). Enbe Indonesia. Retrieved Desember 1, 2020, from enbeindonesia.com: https://enbeindonesia.com/2019/09/05/negara-kekuasaan-sebagai-leviathan-pemikiran-politik-thomas-hobbes/
- Hardiman, B. (2017). Negara dalam Pemikiran John Locke. Filsafat Modern, 74-75.
- Lidinilah, I. H. (2020). Kesejajaran Idea Plato dengan Doktrin Islam. JAFQI: Jurnal Filsafat dan Aqidah Islam, 72.
- Muria, M. S. (2020, Agustus 10). Candradimuka Digital. Retrieved Desember 1, 2020, from candradimukadigital.xyz: https://www.candradimukadigital.xyz/2020/08/plato-sejarah-singkat-dan-pemikirannya.html
- Nanang, R. B. (2020). Negara dan Warga Negara Perspektif Aristoteles. Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial, 250.
- Ruswantoro, A. (2015). Filsafat Sosial-Politik Plato dan Aristoteles. Jurnal Refleksi, 123.
- Simorangkir, H. (2004). Jiwa Manusia dalam Pandangan Plato. LOGOS: Jurnal Filsafat dan Teologi, 86.
- Syafaat, M. A. (2017). Sejarah Singkat Pemikiran tentang Negara. Ilmu Negara, 2.
- (2009, Januari 13). Biografi: Biografi dan Profil Tokoh di Dunia. Retrieved Desember 1, 2020, from biografiku..com: https://www.biografiku.com/biografi-plato/