PORTAL JABAR,-Faktanya, tidak semua orang lahir dalam sebuah keluarga bahagia yang dapat menjadi tempat mereka untuk “pulang”. Tidak semua orang tumbuh di lingkungan keluarga yang membuat mereka merasa aman dan nyaman. Kita seringkali menemukan bermacam-macam kasus pilu anak-anak yang harus mengalami pola asuh yang penuh dengan kekerasan. Masa kecil yang seharusnya dipenuhi kenangan bahagia, ternyata menjadi segudang trauma pahit yang sangat menyakitkan. Bahkan, kekerasan di masa anak-anak ini bisa berujung lebih buruk, yakni kematian.
Kasus kekerasan pada anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Sesuai data yang ditampilkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah kasus kekerasan pada anak selalu berada di atas angka 2.000 kasus tiap tahunnya. Tampaknya, eksistensi Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2002 yang mengatur perihal perlindungan anak tidak menjadikan kasus kekerasan pada anak benar-benar berakhir.
Misalnya pada tragedi yang terjadi di Kota Gresik beberapa waktu silam. Dimana seorang ayah kandung tega membunuh putrinya sendiri yang masih anak-anak berusia 9 tahun. Sang putri yang telah secara tragis wafat ini ternyata ditemukan dengan badan yang dipenuhi puluhan tusukan. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur beberapa bulan lalu, tepatnya Kabupaten Timor Tengah, muncul video balita yang disekap oleh orang tua angkatnya. Video tersebut menunjukan sang balita disekp dengan kaki dan tangannya yang diikat di dalam sebuah kamar.
Kedua kisah menyedihkan di atas hanya bagian kecil dari apa yang kita lihat. Masih banyak kasus-kasus kekerasan anak yang terjadi di luar sana namun belum terkuak ke permukaan. Entah disembunyikan, atau si korban tidak merasa perlu untuk memperbesar masalah ini dikarenakan pelakunya adalah anggota keluarga terdekatnya sendiri. Sungguh miris, sosok keluarga, terutama figur orang tua seringkali menjadi pelaku kekerasan anak.
Bentuk kekerasan pada anak (child abuse) tidak hanya berupa kekerasan fisik saja. Menurut Suharto (1997), child abuse bisa dalam bentuk kekerasan psikologis (psychological abuse) seperti melontarkan kata-kata tidak senonoh kepada anak atau membentak, kekerasan fisik (physical abuse) seperti penganiayaan secara fisik, kekerasan seksual (sexual abuse) seperti pelecehan atau kontak seksual yang tidak sewajarnya, dan kekerasan sosial (social abuse) seperti menelantarkan atau mengeksploitasi anak.
Apapun latar belakangnya, tindakan kekerasan pada anak tidak bisa dibenarkan. Tidak ada alasan apapun yang pantas dijadikan dasar perlakuan buruk kepada anak-anak. Bukan hanya luka secara fisik saja, kekerasan pada anak dapat menimbulkan efek jangka panjang dan trauma mendalam di masa depan sang anak.
Lantas bagaimana para korban child abuse ini dapat menyembuhkan trauma yang mereka alami? Dapatkah mereka memaafkan para pelaku kekerasan yang mungkin orang tua mereka sendiri? Hal itu tentunya tidak mudah. Namun, berdasarkan teori yang disampaikan oleh Dickey, J Walter (1998) dalam Exploring Forgiveness, dengan mencoba memaafkan si pelaku akan memudahkan penyembuhan trauma yang dialami korban.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana caranya memaafkan para pelaku itu (forgiveness)? Sebelum membahas bagaimana caranya memaafkan, mari kita definisikan kata memaafkan itu sendiri terlebih dahulu. Memaafkan berarti kehendak inidividu untuk melepas seluruh rasa sakit maupun keinginan untuk membalaskan dendam kepada orang lain. Orang yang dikatakan sudah memaafkan, yakni ketika mereka tidak lagi memandang negatif dan menunjukan perilaku buruk kepada orang yang pernah menyakiti mereka.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, bagaimana caranya memaafkan para pelaku kekerasan itu? Disampaikan oleh tokoh Enright (2001), ada 4 tahap dalam pemaafan. Tahap pertama yakni uncovering phase, yaitu tahap dimana kita terus-menerus mengingat dan memikirkan memori-memori yang menyakitkan itu. Misalnya memori pahit di masa kecil ketika ayah atau ibu membentak kita, memukul salah satu bagian tubuh kita saat mereka marah, dan lainnya. Tahap kedua yakni decision to forgive phase, yaitu tahap ketika muncul perasaan ingin keluar dari seluruh penderitaan dan menyadari pentingnya memaafkan. Di tahap ini, kita mulai merasa bahwa terus terikat dengan trauma masa lalu itu tidak ada gunanya, kita akan mulai berpikir bagaimana jalan keluar dari semua rasa sakit ini.
Tahap selanjutnya adalah work phase, yaitu fase dimana kita menyelami seluruh peristiwa kekerasan yang kita alami di masa kecil, namun melihatnya dengan perspektif yang berbeda. Kita tidak lagi berfokus pada rasa sakit yang kita rasakan, tetapi mencoba untuk menumbuhkan rasa empati kepada pelaku, dan menganggap bahwa semua kejadian tersebut tidak menjadikan siapa kita di masa depan. Tahap terakhir adalah deepening phase, yaitu tahap ketika kita berhasil sepenuhnya melepas rasa kecewa, sakit, hati, keinginan membalaskan dendam, dan benar-benar merasakan manfaat dari memaafkan serta mulai membangun hubungan baru yang lebih bermakna.
Proses memaafkan tentunya tak semudah 4 tahap yang telah disebutkan di atas. Seperti yang diungkapkan McCullough, dkk (2007) dalam King (2013), bahwa memaafkan merupakan proses yang tidak selalu linear. Artinya bisa kapan saja kembali teringat peristiwa menyakitkan tersebut. Oleh karena itu, memaafkan membutuhkan waktu yang sangat lama bagi individu.
Namun, keberhasilan proses memaafkan ini bergantung pada diri kita sendiri. Kita sendiri yang menentukan apakah ingin terus dihantui oleh rasa sakit dan trauma dari masa kecil, atau mencoba melepaskan segala beban di hati ini dan memperbaiki hubungan dengan keluarga terdekat kita.
PENULIS: Selvina Elsyafitri
Referensi
- Maghfiroh, S. C. & Suryanto. (2022). Forgiveness (Pemaafan) Pada Korban Child Abuse (Kekerasan Anak).
- Citra, A. F. Forgiveness pada Orangtua Korban Kekerasan pada Anak.
- DARI, M. P., & TUA, K. P. D. M. O. (2018). Efektivitas terapi pemaafan dengan model proses dari Enright untuk membantu remaja korban perceraian dalam memaafkan orang tua. Jurnal Psikologi Volume, 11(1).
- Liputan6.com. (2023). “Viral Video Anak Balita Disekap dengan Kaki dan Tangan Terikat di NTT, Pelaku Ditangkap”. Retrieved from https://www.liputan6.com/regional/read/5196166/viral-video-anak-balita-disekap-dengan-kaki-dan-tangan-terikat-di-ntt-pelaku-ditangkap