PORTALJABAR, PONOROGO – Dahlan Iskan menggandeng petani porang, Pak Marnianto ke dalam podcast-nya yang bertajuk Belajar Bisnis Porang Langsung dari Petaninya – Energi Disway Podcast Eps 26. Bisnis tanaman porang ternyata sangat menggiurkan.
Pak Marnianto sendiri tinggal di Desa Ngrayun, pedalaman Ponorogo. Sebelum menjadi petani porang, Pak Marni merupakan seorang pensiunan guru. Karirnya sebagai guru dijajakinya sejak tahun 1978 hingga tahun 2017.
Pak Marni pertama kali tertarik menjadi petani karena banyaknya instansi pemerintah yang menyarankan untuk menanam tanaman jarak. Tetapi, setelah panen, tidak ada yang membeli.
Lalu, dianjurkan untuk menanam tanaman jabon tetapi juga sama saja tidak laku. Hingga akhirnya, Pak Marni menanam tanaman sengon, yang mulai kelihatan hasilnya. Tetapi, pengiriman ke pabrik, biaya angkut dan lainnya ditanggung oleh Pak Marni sendiri sehingga tidak menguntungkan. Meski demikian, untungnya, Pak Marni memiliki tanah sendiri seluas satu hektar.
Barulah Pak Marni mengenal tanaman porang dari seorang temannya saat menjadi guru, belajar mengenai tanaman porang di Nganjuk. Alhasil, tanaman porang pun terjual Rp.25.000/Kg yang berisikan umbi daun alias katak yang besarnya hanya seukuran kacang. Dari satu kilogram umbi daun porang, bisa menjadi 150 tanaman porang.
Menanam porang pun tidak sulit, cukup di bawah lubang 10-15cm dengan diagonal lebar 40cm. Lalu , diberi pupuk kandang atau pupuk kompos sebanyak 1kg, kemudian tunggu sekitar 6-7bulan untuk bisa panen.
Kini, tanaman porang sangat populer di tempat Pak Marni. Paling tidak, dari semangat para petani sudah ada 80 hektar tanaman porang. Padahal, dahulu saat memulai menanam porang, Pak Marni dikucilkan karena menanam tanaman yang tidak enak untuk dimakan. Namun, Pak Marni tak patah semangat, semua orang justru mengikutinya begitu melihat tanaman porang sangat menjanjikan.
Saat pertama kali memulai, Pak Marni bercerita ia membeli 5kg katak yang menghasilkan 750 tanaman porang. Modal awal membelinya pun dari hasil menjual kayu sengon. Hasilnya, Pak Marni panen 4 ton dengan harga jual Rp1.300.
Di tahun pertama menanam porang, tidak bisa langsung panen umbinya karena masih terlalu kecil. Panen umbi baru bisa diraih di tahun kedua. Tetapi, dari daun-daun tanaman porang itu, ada umbi daun yang bisa dijual. Bahkan, harga jualnya kini sudah Rp.350.000/kg. Satu tanaman porang, hanya bisa menghasilkan 0,25g umbi daun.
Karena itu, ketika panen 4 ton, Pak Marni mampu meraup Rp.12 jutaan. Bahkan, hingga hari ini, Pak Marni sudah mampu tujuh kali panen tidak rugi. Hasil dari bisnis porang ini pun dibelikan tanah lagi oleh Pak Marni karena merasa sudah lebih dari cukup untuk makan 3x sehari.
Saat ini, Pak Marni sudah menanam porang di tiga hektar tanah. Dan masih ada dua hektar lagi yang menganggur. Bahkan, di kacamatan tempat tinggal Pak Marni, sebagian besar rakyatnya sudah menanam tanaman porang.
“Harga [porang] naik terus ini, semakin banyak yang tanam malah semakin naik harganya,” celetuk Dahlan Iskan.
Meski harga porang sudah Rp.13.500 tetapi Pak Marni tetap mematok harga Rp.5.000. Ini karena menurutnya sudah cukup menguntungkan.
Meski pada dasarnya porang tidak bisa dimakan, tetapi jika sudah diproses di pabrik, tanaman porang bisa menjadi tepung shirataki yang bisa dibuat menjadi beras, bahkan mie. Adapun harga beras shirataki hari ini dipatok sekitar Rp.160.000/kg.
Teknik menanam porang ditanami kencur dengan jarak antara sekitar 50-70cm.
“Daripada tumbuh rumput, lebih baik ditumbuhi kencur,” terang Dahlan Iskan.
Lebih lanjut, Pak Marni mengungkap, saking populernya porang, sampai ada lahan tanah yang biasa ditanam padi dan bisa panen tiga kali setahun, langsung beralih menanam porang karena sangat menggiurkan. Wah, umbi dalam negeri ternyata bisa semenarik ini ya!