PORTALJABAR – Sebuah sepanduk besar bertuliskan “Pengkhianat Demokrasi, Awasi Bawaslu dan Koruptor” terpasang di depan kantor Sekretariat Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan (Panwascam) Karawang Timur, mencuri perhatian publik dan memicu spekulasi terkait dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan anggaran pemilu.
Sepanduk yang terpasang di tengah ketegangan ini semakin memanas setelah diungkapnya kekecewaan dari sejumlah Pengawas Kelurahan/Desa (PKD) yang bekerja di bawah naungan Panwascam Karawang Timur. Salah satunya, Fanny, PKD Kelurahan Kondang Jaya, yang memberikan penjelasan mengenai alasan pemasangan sepanduk tersebut.
Menurutnya, ketidaktransparanan dalam pengelolaan kantor sekretariat dan masalah administratif lainnya membuat mereka merasa perlu untuk mengambil tindakan tegas.
“Kami kecewa dengan pengelolaan sekretariat yang tidak sesuai prosedur. Kunci kantor seharusnya diserahkan ke pengelola, namun malah diberikan kepada pemiliknya, sementara Surat Pertanggungjawaban (SPJ) bulan November dan Desember 2024 belum selesai,” kata Fanny, yang berbicara kepada awak media, Rabu (25/12/2024).
Kekecewaan PKD semakin dalam setelah mengetahui adanya kejanggalan dalam laporan anggaran. Dalam SPJ yang beredar, tercatat ada tiga kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek), namun hanya dua yang terlaksana.
Bahkan, satu kegiatan lainnya hilang begitu saja tanpa penjelasan jelas. Tidak hanya itu, Rapat Kerja Teknis (Rakernis) yang tertera dalam draf anggaran juga tidak dilaksanakan, meski anggarannya sudah disiapkan.
“Anggaran untuk Bimtek dan Rakernis yang seharusnya digunakan dengan transparan justru disalahgunakan. Ini menjadi sorotan utama kami, karena hampir semua PKD sudah mengetahui rincian anggaran ini,” tegas Fanny.
Selain itu, Fanny juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pengelolaan dana makan dan alat tulis kantor (ATK) saat pelaksanaan Pemilu.
Pada 26 November 2024, menjelang H-1 Pemilu, anggota Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) dikumpulkan untuk pemantapan di Sekretariat Panwascam Karawang Timur. Namun, uang pengganti makan dan ATK yang dijanjikan tidak diberikan sesuai ketentuan.
“Dijanjikan makan dua kali dengan total Rp 100.000 dan ATK Rp 50.000, tapi kenyataannya kami hanya menerima Rp 87.000. Ini jelas tidak sesuai dengan yang sudah disepakati dalam anggaran,” ujar Fanny.
Fanny mengaku telah melaporkan dugaan penyalahgunaan anggaran tersebut kepada Bawaslu Karawang. Namun, laporan itu tidak diterima dengan alasan sudah kedaluwarsa. Meskipun demikian, ia bersama rekannya dari PKD Desa Warung Bambu dan Desa Adiarsa Timur berencana untuk melanjutkan laporan tersebut agar proses penyelidikan berjalan lebih lanjut.
Dugaan penyalahgunaan anggaran ini semakin mendapat perhatian masyarakat, yang berharap agar Bawaslu dan pihak berwenang lainnya memberikan perhatian serius terhadap masalah ini.
Mereka menginginkan agar transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pemilu benar-benar dijaga demi kelancaran proses demokrasi yang adil dan jujur.
Masyarakat kini menantikan langkah konkret dari pihak berwenang untuk mengusut tuntas dugaan korupsi ini, agar kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas pemilu dapat dipulihkan. (Joe)