PORTALJABAR – SALAH satu kontroversi terbesar tentang agribisnis kelapa sawit adalah debat panjang antara sawit sebagai pembawa kemakmuran, dan sawit sebagai pembawa bencana lingkungan.
Debat yang terjadi di lokal dan juga global itu sangat panjang, dan tak pernah selesai.
Petentangan pendapat itu tersebar dan beragam dari kelompok lembaga swadaya masyarakat dan berbagai komponen masyarakat sipil, ilmuwan, negara, bahkan berbagai lembaga multilateral.
Sawit Sebagai Rahmat dan Berkah Ekonomi
Tidak dapat dibantah tanaman palma yang berasal dari Afrika itu secara ekonomi sangat menguntungkan, baik untuk perusahaan, rakyat, dan juga negara.
Indonesia dengan luas lahan sawit saat ini melebihi 14 juta hektare mempunyai nilai ekspor yang cukup tinggi, yaitu 23 miliar dolar pada 2017.
Dalam konteks ekonomi pedesaan, lebih dari dari 2 juta rumah tangga adalah petani kelapa sawit yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan kini mulai ada di Papua.
Disamping penyerapan tenaga kerja keluarga dari kelapa sawit rakyat, tidak kurang dari 7.2 juta pekerja terlibat dalam kegiatan berbagai perusahaan sawit. (PASPI 2018).
Laporan terakhir, bahkan menyebutkan, di antara sektor pertanian, agribisnis kelapa sawit yang paling kuat resistennya terhadap efek pandemi, dan depresi ekonomi global.
Padahal sektor ekonomi lain anjlok dan bahkan parah.
Pemerintah dua hari yang lalu mengumumkan pada tahun 2021 ini saja, sekitar 16 juta pekerja terserap dalam agribisnis, baik langsung maupun tak langsung.
Dalam kacamata ekonomi yang lebih nyata, agribisnis kelapa sawit tidak hanya membuat ekonomi tumbuh, tetapi juga telah menjadi instrumen pengentasan kemiskinan, perbaikan distribusi pendapatan, dan bahkan peningkatan kesejahteraan keluarga.
Walaupun tidak sangat nyata dan berjangka panjang, klaim yang seperti itu telah terbukti secara kwalitatif seperti dalam kasus petani sawit Bakongan dan juga petani-petani sawit lainnya di kabupaten sepanjang Barsela, dan pantai Timur Aceh.
Provinsi Riau adalah sebuah contoh dimana perkembangan sawit yang luar biasa pada akhir tahun 90an dan awal tahun 2000an, telah memberikan kemakmuran kepada penduduk dan pembangunan daerah yang luar biasa.
Pada tahun 2017, sawit menyumbang 39,31 persen perekonomian Riau, dan bahkan pada tahun 2016 menyumbang 22,65 persen untuk PDRB Riau (Bank Indonesia Perwakilan Riau, 2017).
Tidak hanya itu PDRB, nilai ekspor Riau pada tahun yang sama juga didominasi oleh kelapa sawit yakni 61,47 persen.
Sebuah catatan penting dari Riau pada tahun 2015 juga menunjukkan pendapatan petani sawit berada antara US$4.630- US$5.500 per tahun atau sekira Rp 70 juta- 82 juta per tahun.
Ini artinya pendapatan petani sawit rata-rata sekitar 7,5 juta rupiah perbulan.
Angka itu tidak berbeda jauh dari pendapatan yang diperoleh oleh petani sawit Bakongan, dan juga kulster petani sawit yang serupa di kabupaten sepanjang Barsela.
Sawit dan Ancaman Lingkungan
Pada titik yang paling ekstrem lainya, sawit seringkali digambarkan sebagai tanaman pembawa “kutukan” lingkungan, baik kepada masyarakat lokal, sekaligus kepada kehidupan masyarakat global.
Agribisnis sawit seringkali digambarkan sebagai salah satu mesin deforestrasi kawasan hutan tropis yang tidak hanya merusak tataguna tanah dan air, akan tetapi juga memusnahkan keanekaragaman hayati yang luar biasa.
Pembukaan hutan untuk lahan sawit juga sering dikaitkan dengan penambahan gas rumah kaca yang akan membuat bumi semakin panas.
Hutan sebagai penangkap CO2-carbon dioxida, ketika dimusnahkan, akan membuat gas itu terbang ke atmosfir, dan secara perlahan namun pasti berkontribusi kepada pemanasan iklim global.
Reuter (29/6/21) bahkan mencatat tahun 2021 ini tercatat dalam sejarah sebagai tahun terpanas dunia, lebih tinggi dari yang pernah terjadi pada tahun 1890.
Kasus cuaca panas di beberapa kota di dunia dalam beberapa hari ini- Ottawa-Kanada, Portland di Oregon,AS, dan Seatle, Washington AS, adalah bukti nyata bumi semakin panas.
Emisi karbon akibat polusi industri dam pembukaan lahan hutan tropis di Asia Tenggara, dan Amerika Latin-Brazil seringkali disebutkan bertemali dengan fenomena itu.
Ancaman terbesarnya adalah kehilangan keanekaragaman hayati yang cukup besar, yang pada akhirnya juga akan melahirkan berbagai malapetaka kemanusiaan, seperti kasus pandemi Covid-19 pada hari ini.
Kehilangan kenekaragaman hayati juga diketahui sebagai sebuah situasi yang tidak dapat dikembalikan.
Kehilangan keanekaragaman hayati juga diyakini sebagai salah satu sebab kehilangan dan kegoncangan besar keseimbangan alam yang selalu berujung kepada malapetaka kepada manusia dan kemanusiaan.
Ekspansi besar-besaran agribisnis sawit terhadap hutan tropis, termasuk pemanfaatan kawasan rawa gambut yang tak terkendalikan adalah contoh nyata tentang potensi ancaman.
Hal inilah yang selalu diperingatkan oleh para ahli yang perlu mendapat perhatan serius.
Dalam pemahaman biologi ketika satu saja spesies makhluk hidup punah, maka mahluk itu akan menjadi sejarah, dan tak akan pernah kembali lagi hidup.
Sebut saja misalnya ketika orang hutan atau badak Sumatera punah, maka mereka akan menjadi gambar mati, persis seperti gambar mammoth-gajah besar Timur Tengah dan Afrika yang tergambar di buku-buku biologi hari ini.
Sawit: Rekonsiliasi Ekonomi vs Lingkungan
Dengan fakta dan alasan yang cukup kuat untuk kedua pandangan- ekonomi vs lingkungan, sangat sukar untuk membuat pilihan mana yang mesti didahulukan.
Dengan melihat kepada potensi ancaman lingkungan yang terjadi akibat penanaman kelapa sawit, haruskah agribinis ini dihentikan, bahkan kalau perlu dilarang?
Sebaliknya dengan melihat kepada keuntungan dan masa depan ekonomi, pembangunan, dan kesejahteraan, haruskah kemudian agribisnis dikembangkan secara besar-besaran, tanpa sedikitpun memperhitungkan dampak buruk yang akan ditimbulkan.
Dengan melihat skenario kebutuhan minyak nabati dunia yang begitu tinggi mulai dekade yang akan datang, layakkah kemudian ekspansi agribisnis kelapa sawit dilakukan tanpa menghiraukan kesimbangan lingkungan dan berbagai kaedah sosial ekonomi lain yang relevan?
Suatu hal yang penting mesti diingat tentang agribisnis kelapa sawit, tidak semua cerita indah dan baik tentang komoditi adalah mutlak adanya.
Sebaliknya, tidak semua cerita buruk yang menyangkut dengan sawit ini adalah buruk belaka.
Setiap interaksi manusia dengan alam, apalagi untuk kegiatan ekploitasi sumber daya alam, bahkan eksploitasi massif selalu saja membawa dimensi keburukan dan kebaikan.
Dalam konteks agribisnis kelapa sawit hari ini, tantangan terbesar yang mesti dipecahkan adalah bagimana mencari sebuah formula rekonsiliasi yang memadai untuk mendamaikan kedua perspektif itu dengan baik.
Salah satu hal yang mesti disadari adalah agribinis sawit tidak hanya berurusan dengan perusahaan besar domestik maupun multi nasional, tetapi juga rakyat kecil di pedesan.
Di sebalik keterlibatan perusahaan besar, agribisnis ini juga menyangkut dengan kehidupan jutaan petani sawit yang telah membuktikan berhasil keluar dari kemiskinan.
Disamping itu, sawit juga telah terbukti menyediakan pekerjaan, memperkecil pengangguran, meningkatkan pendapatan, meningkatkan kesejahteraan, dan mempercepat pembangunan wilayah.
Adalah sesuatu yang tak terbayangkan jika sawit kemudian hanya dilihat dari segi kerusakan belaka.
Disamping berbagai kebaikan yang dihasilkan oleh sawit, terdapat pula sederetan ancaman yang ditimbulkan, baik karena disengaja atau tidak.
Terjadi pembukaan lahan yang sama sekali tidak taat kepada prinsip tata ruang, yang bahkan kadang terasa sangat ekstrim.
Tidak jarang ditemui perusahaan yang melanggar aturan secara sangat vulgar, termasuk mengkonversi kawasan lindung.
Tidak jarang pula, akibat ketidaktahuan, ataupun ketidakpatuhan, rakyat juga sering terlanjur melakukan hal yang sama.
Sangat sering pula, ekspansi agrbisnis melahirkan masalah sosial baru, yakni konflik lahan yang kadar kerumitannya juga dapat merusak tidak hanya bisnis sawit saja, namun juga pembângunan secara keseluruhan.
Kata kunci mendamaikan perdebatan sawit antara ekonomi vs lingkungan adalah menambahkan kata “keberlanjutan” seperti yang telah semakin sering digunakan akhir-akhir ini.
Pada intinya, ketika disebut kata sawit berkelanjutan, maka yang terjadi adalah sebuah keterpaduan yang serasi yang diterapkan dalam agribisnis kelapa sawit yang menempatkan keseimbangan antara aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Hal ini tidak hanya berlaku pada tataran budi daya, akan tetpi juga mencakup ke dalam wilayah industri pengolahan.
Tantangan terbesar perdagngan komoditi pertanian hari ini, terutama sawit adalah kesadaran konsumen, berikut dengan ketentuan negara pengimpor komoditi yang semakin mensyaratkan pemenuhan aspek keberlanjutan itu.
Ketika persyaratan dan komitmen itu tidak dipenuhi, maka tingkat kompetitif komoditi menjadi rendah, yang pada ujungnya akan berurusan dengan harga yang rendah, dan bahkan pemboikotan konsumen.
Bahkan di Cina dan India sekalipun yang sering dipersepsikan sebagai negara yang kurang peduli dengan lingkungan, kesadaran lingkungan di kalangan konsumen milenial ditemui semakin tinggi, dan hal ini tentu saja akan berdampak terhadap komoditas sawit di hari-hari yang akan datang.
Dalam konteks sawit, persaingan baru diantara sesama negara produsen sawit-terutama Malaysia, adalah perpacuan untuk mendapatkan pengakuan status keberlanjutan yang akan menjadi faktor kunci dalam preferensi konsumen.
Ini adalah tantangan terbesar nasional saat ini, dan juga tantangan sangat besar agribisnis sawit Aceh hari ini dan di masa yang akan datang.
Bagi Aceh, tantangan agribisnis sawit ini sangat kompleks.
Masalah perencanaan tata ruang budi daya yang belum tuntas, komitmen pemerintah provinsi dan kabupaten kota yang relatif rendah, norma budi daya yang baik dari petani yang masih sangat kurang, dan kerentanan keuangan petani adalah sejumlah hal serius yang mesti dipecahkan.
Mengurus agribisnis sawit memang tidak mudah, tetapi Aceh tidak punya banyak pilihan untuk mencari solusi pendapatan, pekerjaan, dan kemiskinan pedesaan.
Salah satu yang sudah terbukti manjur, walau kadang tergoncang adalah kelapa sawit.
Agribisnis ini, terutama petani kelapa sawit mesti ditangani seara sangat serius.
Sumber: Serambinews.com