PORTAL JABAR,- Pasar makanan cepat saji global diprediksi akan tumbuh mencapai 1467,04 miliar dollar AS pada tahun 2028. Nilai yang fantastis jika di konversi ke dalam rupiah. Apalagi sejak Covid 19 menginveksi penduduk dunia, dimana telah terjadi pergeseran pola konsumsi pada masyarakat. Yang tentunya sangat terasa adalah tumbuhnya rumah makan atau restoran yang menyediakan makanan ready to cook dan ready to eat dan berkembangnya industri pengolahan pangan. Di masa Covid 19 dengan pembatasan kegiatan masyarakat, produk pangan olahan instan menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Bahkan dalam kondisi karantina jika ada yang terinfeksi Covid 19, rumah tangga mengandalkan bantuan dari tetangga atau kerabat untuk menyuplai kebutuhan makanannya.
Paska Covid 19 berlalu, kebiasaan konsumsi masyarakat yang baru telah terbentuk. Ditambah lagi dengan kebiasaan para milenial yang menyukai segala hal yang sifatnya praktis, maka pangan olahan dan restoran cepat saji menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan makanannya. Produk-produk olahan seperti mie instan, makanan kaleng, atau makanan dan minuman fermentasi yang dikemas pasti banyak dijumpai di setiap dapur keluarga. Kafe-kafe yang menjadi ciri pergaulan saat ini tumbuh seperti cendawan di musim penghujan. Yang menarik lagi, kafe-kafe tersebut selalu penuh diminati oleh konsumen. Sejak dahulu kala, industri yang bergerak di bidang makanan tidak akan pernah sepi dan akan terus tumbuh. Sebab makanan adalah kebutuhan pokok nomor satu bagi manusia.
Lalu pergeseran pola konsumsi ini, apakah akan mempengaruhi status nutrisi masyarakat? Jawabannya adalah pasti mempengaruhi. Zat gizi atau nutrisi adalah sejumlah kandungan zat yang dapat berasal dari berbagai bahan pangan atau makanan yang berfungsi serta penting untuk menjaga, memelihara serta membangun berbagai sel dan jaringan tubuh. Manusia memerlukan nutrisi untuk beraktifitas. Sayangnya, bahkan setelah industri pengolahan pangan berkembang dengan pesat, kasus-kasus kesehatan terkait kekurangan gizi masih terjadi di seluruh penjuru dunia. Salah satunya adalah kasus stunting. Angka kasus stunting di Indonesia bahkan mencapai 24,4 persen. Artinya, 1 dari 4 anak di Indonesia mengalami stunting. Selain penyakit akibat kekurangan gizi, masyarakat dunia juga dihadapkan pada penyakit akibat kelebihan gizi (over-nutrition). Sebuah laporan ilmiah yang ditulis oleh Weaver dkk (2014) bahkan menyebutkan bahwa sejak tahun 2006 prevalensi penyakit terkait kelebihan gizi telah melampaui status kekurangan gizi. Kondisi obesitas yang memicu munculnya penyakit jantung dan diabetes dilaporkan meningkat dari tahun ke tahun. Perlu diketahui, penyakit jantung koroner menempati posisi pertama dari penyakit mematikan pada manusia. Kebiasaan menyantap makanan yang keliru menjadi salah satu faktor meningkatnya prevalensi penyakit kelebihan gizi.
Dengan segala kepraktisan yang disediakan oleh produk pangan olahan, manusia menjadi semakin ‘malas’ untuk memperhatikan status nutrisi tubuhnya. Makanan dianggap sebagai barang untuk menuntaskan rasa lapar dan terfokus pada rasa yang enak. Masyarakat sering abai terhadap keseimbangan jenis nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuhnya. Bahwa tubuh tidak hanya sekedar membutuhkan karbohidrat saja, atau lemak saja, atau protein saja atau mineral saja. Tubuh manusia membutuhkan kombinasi keseluruhan zat gizi baik yang bersifat makro ataupun mikro. Tentu saja dengan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan. Produk pangan olahan sering “dituduh” sebagai penyebab munculnya kasus-kasus penyakit seperti diabetes, kardiovaskuler atau hipertensi. Alasannya karena produk pangan olahan ada yang mengandung gula sangat tinggi atau mengandung garam di atas batas yang ditentukan oleh regulasi. Maka ramailah kampanye back to nature yakni kembali pada pola mengonsumsi makanan segar dan alami.
Bahan pangan alami dan segar tentu bagus untuk tubuh manusia. Tapi perlu diingat, bahan baku pangan segar memiliki masa simpan yang terbatas. Teknologi pengolahan tetap diperlukan untuk memperpanjang umur simpan makanan serta menjaga kandungan gizinya. Teknologi pangan yang menghasilkan produk pangan olahan, tak satupun yang ditujukan untuk menciptakan bencana penyakit pada manusia. Tetapi sebaliknya, teknologi pengolahan dan pangan olahan justru hadir untuk menyelesaikan persoalan manusia terkait nutrisi, kesehatan, keamanan pangan dan ketahanan pangan masyarakat. Pengeringan bisa mengurangi kadar air pada ikan sehingga jamaah haji Indonesia dapat membawa lauk ikan asin saat beribadah di Tanah suci. Fermentasi menciptakan produk yoghurt dan keju yang lezat dan memiliki kandungan gizi tinggi. Teknologi baru seperti bioteknologi memberikan peluang rekayasa genetika pada tanaman untuk menghasilkan varietas padi unggul yang menjaga stok pangan nasional. Teknologi terkait pengolahan pangan sejatinya dibutuhkan oleh manusia untuk bertahan hidup. Sebab di tahun 2050, jumlah penduduk bumi diperkirakan mencapai 9 milyar orang. Dan saat ini kita betul-betul tahu bahwa sumberdaya pangan semakin berkurang. Jika tak diantisipasi dengan teknologi, bencana kelaparan akan mengintai di depan mata.
Dari banyaknya produk pangan olahan, sesungguhnya manusia memiliki kemampuan untuk memilih. Makanan seperti apa yang harus ia konsumsi atau makanan seperti apa yang harus ia hindari. Betul, bahwa dunia industri pangan akan selalu berputar pada bisnis yang menghasilkan keuntungan. Maka munculah pangan-pangan olahan yang berorientasi pada rasa namun komposisi ingredient-nya secara jumlah melebihi standar kebutuhan nutrisi manusia. Tetapi tetap saja, manusia bisa memilih akan mengonsumsinya atau tidak. Sehingga bukan salah produk pangan olahannya, namun kembali pada mindset manusia untuk mengonsumsi makanan yang bergizi dan sehat. Makanan saja tak cukup, perlu aktifitas fisik yang memadai untuk menunjang Kesehatan tubuh manusia. Jadi sejak sekarang, mari bijak mengonsumsi makanan dan bergeraklah setiap hari untuk membakar kalori tubuh. Salam sehat.
Penulis:
Sukma B. Prasetyati
Dosen Politeknik Kelautan & Perikanan Karawang
Kandidat Doktor Ilmu Pangan IPB