PORTALJABAR – Bagi masyarakat Sunda di Jawa Barat, kue wajit menjadi kudapan wajib saat menemani waktu bersantai di waktu pagi dan sore hari. Kue bercita rasa manis legit ini lebih terasa nikmat ketika disajikan bersama secangkir teh, maupun kopi pahit.
Kue wajit sering ditemukan di wilayah Garut, Tasikmalaya hingga yang paling popular di Desa Cililin, Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat.
Ada beberapa fakta unik di balik panganan berbungkus daun jagung kering ini. Konon disebutkan, jika wajit merupakan kudapan khas kalangan menak (bangsawan) tatar parahyangan abad ke-15, sekaligus simbol pemberontakan rakyat di masa kolonial Belanda.
Seperti apa sejarah unik dari kue wajit Sunda? berikut informasi selengkapnya sebagaimana dilansir dari kanal Youtube Cil TV:
Sudah Ada Sejak Abad ke-15 Masehi
Melansir dari Youtube Cil TV, pakar tata boga Sunda, Riadi Darwis mengatakan jika wajit sudah ada di wilayah Jawa Barat sejak abad ke-15 Masehi.
Dibuktikan dengan ditemukannya karakter makanan yang merujuk ke arah wajit di dalam naskah-naskah rujukan Sunda kuno. Salah satunya, Sanghyang Siksakandang Karesian yang juga dijadikan sebagai enslikopedia kebudayaan Sunda Jawa Barat.
“Jadi soal sejarah wajit, kita bisa merujuk ke naskah Sanghyang Siksakandang Karesian. Di sana dituliskan jika wajit masuk ke dalam kategori makanan yang amis-amis (makanan manis) dan merupakan salah satu makanan yang dibuat masyarakat Sunda kurang lebih abad ke-15 masehi,” terang Riadi.
Hanya Boleh Dimakan Kalangan Menak dan Belanda
Rasanya yang manis dan lezat, konon membuat wajit disukai kalangan menak hingga Belanda. Masyarakat di luar kalangan tersebut dilarang memakan wajit.
Menurut Samsul Maarif (50), salah seorang pembuat wajit di Kecamatan Cililin mengatakan jika di masa lalu wajit merupakan salah satu makanan yang tak bisa dinikmati sembarang orang.
Ia mengatakan, jika hanya kalangan menak dan bangsa penjajah sajalah yang boleh menikmati kue wajit. Pernyataan itu merujuk kepada bahan makanan yang dianggapnya sulit dicari (beras ketan) karena untuk kebutuhan ekspor luar negeri Belanda.
Makanan Mewah di Masa Itu
Menurut Samsul, ide awal wajit Cililin bermula saat itu wilayah tersebut menjadi tempat penghasil beras ketan terbesar. Keduanya berinisiatif mengolah beras menjadi penganan yang manis dan bertekstur legit.
Seiring berjalannya waktu, pembuatan kue tradisional kian menjamur, hingga wajit banyak tersaji di acara-acara penting yang didatangi kalangan menak. Di situlah kalangan Belanda mulai mengatur pembuatan wajit hanya untuk acara-acara besar dan bukan untuk konsumsi sehari-hari
“Dulu itu Ibu Juwita dan Ibu Uti merasa bingung lantaran melimpahnya beras ketan di Cililin. Akhirnya mereka membuat jajanan dari ketan yang dicampur gula aren dan parutan kelapa hingga jadi wajit,” kata Samsul.
Simbol Pemberontakan Rakyat Sunda
Kebijakan yang dianggap sewenang-wenang karena tak boleh memakan wajit akhirnya dilanggar oleh masyarakat di Cililin. Cerita itu diungkap oleh cucu dari Juwita dan Uti, Irni Sobariani yang juga pengusaha wajit. Ia menerangkan jika pendahulunya di masa lalu sempat menentang monopoli Belanda dan kalangan menak soal wajit.
Menurut Irni, ibunya yang bernama Siti Romlah (anak dari generasi pertama) yang menjual wajit secara curah kepada warga Cililin.
“Jadi ibu Siti Romlah lah yang mendobrak monopoli Belanda dan menak dengan mengedarkan bebas wajit secara curah ke rakyat di masa itu,” terangnya.