Depresi ekonomi adalah periode penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang ditandai dengan keadaan stagnasi yang berlangsung dari bulan hingga tahun. Resesi dapat memicu laba perusahaan yang lebih rendah, gerakan yang lebih tinggi, dan bahkan keruntuhan ekonomi. Dalam teori ekonomi makro, resesi adalah penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi riil negatif selama dua atau lebih kuartal dalam setahun.
Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi Bank Dunia terjadi di 4.444 negara, baik negara maju maupun berkembang. Perkiraan pertumbuhan ekonomi 4.444 untuk tahun 2022 untuk Zona Eurosebagai episentrum perselisihan geopolitik direvisi turun sebesar 1,7 poin (dari 4,2% menjadi 2,5%). Dalam 11.3 pp dari prediksi sebelumnya.
Dua ekonomi terbesar dunia, yaitu Amerika Serikat dan China, juga melihat perkiraan pertumbuhan untuk tahun 2022 masing-masing turun 1,2 dan 0,8 poin persentase, sementara India, Meksiko, dan Thailand juga mengalami penurunan signifikan di kelompok negara berkembang mengalami Penurunan 4.444 prediksi yaitu 1,2 poin, 1,3 poin dan 1,0 poin.
HMI Cabang Bandung Melalui Ketua Bidang Kebijakan Ekonomi dan Investasi, Muhammad Zeinny Mengatakan, “Kehadiran resesi & depresi tidak bisa dicegah terkecuali meringankan impak yang mungkin terjadi. Kala perekonomian terus tumbuh dalam jangka panjang ditemukan marginal efficiency of capital – sebut saja penghasilan berdasarkan sebuah investasi yang menurun dengan akibat mengurangi impian pemilik modal yang enggan berinvestasi & mengalihkannya ke sektor keuangan menjadi cara lain mendapatkan penghasilan berdasarkan bunga atau saham. Hal inipun adalah yg masuk akal yg dilakukan sang pemilik modal (investor). Tindakan ini diklaim tindakan rasional yg dilakukan sang investor bagi menghindar berdasarkan kerugian ataupun buat mendapatkan penghasilan pengganti.” Tandasnya.
Menurut Zeinny, Risiko global meningkat, terutama setelah perang di Ukraina. Konflik geopolitik telah membuat tekanan inflasi global semakin sulit diatasi, sebagian besar disebabkan oleh kenaikan harga energi dan pangan serta gangguan pasokan. Upaya berbagai negara untuk menahan inflasi melalui kebijakan moneter yang lebih cepat dan ketat, terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, juga memperketat likuiditas global dan meningkatkan biaya pendanaan mereka.
Hal ini juga mengaburkan prospek pemulihan ekonomi global di masa depan ada tantangan besar, sehingga mendorong pemerintah Indonesia mengambil beberapa langkah untuk menghemat anggaran dan melakukan analisis mata uang untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah, dan secara tepat untuk mempertimbangkan kembali proyek-proyek mahal mereka.
Muhammad Zeinny juga menyotori tentang Menurunnya permintaan global. Belakangan ini, perusahaan di banyak negara mulai memangkas produksi karena permintaan global yang menurun. Karena ini menunjukkan kelambanan ekonomi dan mengarah pada perlambatan laju pertumbuhan ekonomi global,
“Maka pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah untuk memperkuat Umkm, meningkatkan ekspor dan mengurangi impor yang tidak perlu, dan meningkatkan nilai kesejahteraan untuk meningkatkan dan mempertahkan daya beli masyarakat terutama masyarakat yang kurang mampu.” Tegas Ketua Bidang Kebijakan Ekonomi dan Investasi HMI Cabang Bandung Tersebut.