Di saat negara-negara dengan demokrasi yang mapan berusaha berusaha mencapai body goals dengan merampingkan kabinet mereka agar lebih efektif dan efisien, hal berbeda dilakukan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto yang justru menambah jumlah kementerian dalam penyusunan kabinet pada periode awal kepemimpinannya.
Ide Prabowo ini kemudian diakomodir oleh Presiden Joko Widodo yang belum lama ini telah menandatangani UU Kementerian Negara yang baru.
Dalam UU baru, jumlah keseluruhan Kementerian yang dibentuk disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden.
Artinya, Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih memiliki keleluasaan penuh dalam menentukan jumlah kementerian yang ia butuhkan.
Gagasan Kabinet Zaken Prabowo Subianto
Dalam penyusunan kabinetnya, beberapa kali Prabowo mengucapkan bahwa ia akan membentuk Kabinet Zaken atau secara harfiah dapat diartikan sebagai kabinet Ahli atau kabinet profesional.
Ide Prabowo untuk membentuk kabinet zaken merupakan ide yang patut disambut dengan baik, sebab kabinet zaken menawarkan harapan bagi terciptanya pemerintahan yang lebih profesional, efisien dan berorientasi pada hasil.
Dengan memilih orang-orang yang ahli dan berpengalaman di bidangnya untuk menempati pos-pos strategis dalam pemerintahan.
Kabinet Zaken seharusnya mampu menjadi solusi bagi masalah-masalah birokrasi yang lamban dan korup.
Kabinet zaken memberikan keleluasaan bagi para teknokrat untuk benar-benar fokus bekerja tanpa dibebani oleh kepentingan partai politik yang mendukungnya.
Dengan berfokus pada kompetensi akan berdampak pada peningkatan kualitas tata kelola negara.
Berkaca pada pengalaman pemerintahan sebelumnya, Presiden Joko Widodo pada awal kepemimpinananya juga turut menggembar-gemborkan akan membentuk kabinet yang diisi oleh orang-orang profesional.
Akan tetapi pada akhirnya, ia harus berkompromi dengan realitas politik.
Meskipun ada beberapa menteri teknokrat yang masuk ke dalam kabinet, banyak kursi yang tetap diisi oleh perwakilan partai politik.
Prabowo mungkin akan menghadapi tantangan yang sama, atau bahkan lebih besar, mengingat koalisi yang ia bentuk lebih besar dan lebih kompleks. Ini bukan hal yang baru dalam politik Indonesia, di mana janji kabinet zaken sering kali terbentur oleh dinamika politik yang sarat kepentingan.
Kenyataan Koalisi Gemoy: Politik Transaksional yang Tak Terhindarkan
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk kabinet zaken, nyatanya hanya menjadi omong kosong belaka.
Alih-alih mendapatkan kabinet zaken yang efisien, Prabowo justru membentuk kabinet gemoy (gemuk) yang mana mayoritas diantaranya adalah anggota partai politik koalisi Indonesia Maju.
Realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa untuk membentuk kabinet zaken bukanlah perkara mudah.
Kombinasi sistem presidensial dengan multipartai telah menciptakan dilema tersendiri bagi Presiden dalam memilih antara mengakomodir semua partai pendukung atau membatasi kabinet hanya pada teknokrat.
Dalam upayanya meraih kursi kepresidenan, Prabowo telah membangun koalisi yang sangat besar.
Koalisi ini melibatkan 9 partai politik; Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Garda Republik Indonesia (Garuda), Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan satu partai yang tidak lolos sebagai peserta pemilu 2024 Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).
Tentu saja partai-partai ini tidak mendukung secara cuma-cuma, ada harga yang harus dibayarkan atas dukungan tersebut, yaitu melalui jatah kekuasaan.
Besarnya koalisi yang dibentuk berbanding lurus dengan besarnya permintaan jatah kekuasaan dari partai-partai pengusung.
Tak pelak Prabowo sebagai Presiden Indonesia harus menambah jumlah kementerian dari yang sebelumnya berjumlah 34 kini menjadi 48 Kementerian ditambah dengan 56 wakil menteri.
Ini merupakan jumlah terbesar sejak era orde baru. Bukan hanya gemuk, kabinet merah Putih bentukan Prabowo Subianto mayoritas diisi oleh partai-partai pendukungnya.
Meskipun bisa saja kader partai yang diajukan menjadi menteri memiliki keahlian pada satu bidang tertentu (profesional) tapi sulit rasanya memisahkan kepentingan partai dari individunya, ketimbang yang memang benar-benar tidak terafiliasi dengan partai politik manapun.
Dampak penambahan kementerian dalam teori birokrasi
Jauh panggang dari api, apa yang ditawarkan Prabowo tak sesuai dengan kenyataan yang dibuatnya.
Penambahan kementerian dilakukan Prabowo dengan dalih Indonesia sebagai negara besar sehingga membutuhkan jumlah kementerian yang banyak.
Dalih ini justru terkesan dibuat-buat dan tidak berdasar terlebih jika merujuk kepada negara besar lainnya seperti Amerika serikat yang hanya memiliki 15 kementerian, Russia 21 kementerian, dan China cukup dengan 26 kementerian saja.
Contoh-contoh tersebut membuktikan bahwa luas geografis tidak berpengaruh pada seberapa banyak jumlah kementerian.
Dalam teori birokrasi menurut Max Weber, birokrasi yang ramping efektif dan efisien menjadi kunci utama dalam upaya mencapai good governance.
Semakin sedikit lembaga semakin lincah birokrasi bekerja, dengan begitu tata kelola negara akan berjalan lebih efektif dan efisien.
Bertambahnya kementerian justru akan membuat roda birokrasi menjadi lamban dan menjauhkan dari tujuannya.
Bertambahnya kementerian membawa sejumlah konsekuensi yang harus diterima, yang paling akan terdampak yaitu membengkaknya anggaran negara.
Penambahan jumlah kementerian akan menyebabkan bertambahnya anggaran yang diperlukan untuk operasional, gaji pegawai, infrastruktur, serta fasilitas kementerian.
Ini bisa membebani anggaran negara, terutama jika tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas atau efektivitas kementerian yang baru.
Penambahan jumlah kementerian juga menimbulkan potensi tumpang tindih fungsi dan tugas antar lembaga.
Hal ini berdampak pada kompleksitas dalam pembuatan kebijakan, etiap kementerian mungkin memiliki agenda dan prioritas masing-masing yang bisa tumpang tindih atau bahkan bertentangan satu sama lainnya.
Rumitnya birokrasi dan konflik antar kementerian yang berujung pada menghambat pelayanan publik.
Selain itu, yang paling patut dikhawatirkan yaitu potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Ketika kementerian dibentuk sebagai akomodasi politik, ada risiko bahwa kementerian tersebut menjadi alat bagi partai politik untuk mengakses sumber daya negara. Ini membuka peluang korupsi dan penyalahgunaan wewenang, di mana program dan anggaran kementerian digunakan untuk kepentingan pribadi atau partai dan bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Meskipun jumlah kementerian dan pemilihan menteri merupakan sepenuhnya hak kepala negara, penambahan atau pengurangan kementerian harus merujuk pada kebutuhan yang objektif, efisien dan berdasar pada kepentingan publik, bukan atas kepentingan politik.
Tanpa objektifitas, penambahan kementerian hanya menambah beban keuangan negara, tanpa memberikan manfaat yang sepadan bagi masyarakat.
Anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk program prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik justru tersedot untuk kebutuhan birokrasi yang membesar.
Sulit rasanya untuk menemukan urgensi dalam penambahan jumlah kementerian. Presiden baru nyatanya tidak juga membawa pembaharuan.
Alih-alih memberikan “dream team” melalui kabinet Zaken, lagi-lagi kita disuguhkan pada realitas politik yang memprioritaskan stabilitas politik dengan mengakomodasi sebanyak mungkin partai politik di dalam kabinetnya.
Dengan semakin banyakanya kementerian, kedepannya mungkin kita akan semakin sering melihat program-program studi banding dan semakin banyak pula rapat-rapat tidak penting.
Dari susunan kabinet ini kita bisa melihat kemana Presiden berpihak, apakah pada kepentingan partai politik atau kebutuhan rakyat?
Penulis
M. Rizky Ganda Hutama S.IP., M.IPol
Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Unpas