PORTALJABAR – Komisi IV DPR RI menggelar Rapat Kerja dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.
Dalam rapat tersebut, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dedi Mulyadi menyatakan, urusan yang menyangkut masalah hutan bukan hanya urusan yang bersifat administratif.
Menurut Dedi, kalau hanya baik pada urusan administratif, tetapi pepohonan di hutan menjadi hilang atau lahannya berpindah, maka urusan administratif itu jadi tidak bermakna.
Sehingga, lanjut Dedi, suatu bencana akibat rusaknya hutan tidak akan bisa ditahan oleh kekuatan administratif apa pun.
Dedi menekankan, yang mejadi titik fokus saat ini adalah masalah penggantian dari penggunaan hutan yang esensinya ditujukan untuk tetap menjaga keberadaan hutan.
“Ketika hutan digunakan peruntukkannya untuk kepentingan lain, seperti perkebunan, pertanian, atau kepentingan apa pun, hutannya tidak boleh hilang, maka dibuatlah tanah pengganti,” jelas Dedi.
Ketika penggantiannya dalam bentuk uang sesuai dengan undang-undang yang baru, dia mempertanyakan apakah nilai penggantian itu akan sepadan antara luas lahan hutan yang dipakai dengan besaran jumlah uang pengganti tersebut.
“Biaya reboisasi saja mungkin angkanya jauh lebih mahal, itu pun kalau reboisasinya berhasil. Namun kalau pohonnya mati juga karena salah menanam pohon, hutannya tetap hilang. Belum lagi tanahnya. Uang yang masuk ke kas negara belum tentu akan dibelanjakan nantinya untuk kepentingan hutan,” urainya.
Dedi menilai, besaran nominal pengganti yang ada saat ini angkanya sangat rendah dibanding hilangnya sebuah kawasan hutan.
Ia juga mengimbau agar pemerintah tidak lagi memberikan kompensasi kepada orang-orang yang sejak awal tidak memiliki niat baik terkait pemanfaatan lahan kawasan hutan.
Mengenai perhutanan sosial, Dedi menyampaikan, perhutanan sosial tujuan dasarnya berkaitan dengan aspek-aspek yang bersifat keadilan sosial secara administratif.
Artinya, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan harus mendapatkan manfaat dari hutan tersebut dalam bentuk redistribusi tanah.
Akan tetapi, dilihat dari sisi aspek teknis pelaksanaannya, Kementrian LHK tidak memiliki cukup orang untuk melakukan pengawasan di lapangan.
“Yang saya khawatirkan, Perhutanan Sosial dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan hutannya jadi hilang, dan yang ada adalah perkebunan sosial. Ini jangan sampai terjadi, karena tugas Menteri LHK aspek pertamanya adalah menjaga hutan dan menjaga lingkungan hidup,” tandas Dedi.
Sumber: Jurnal Soreang