PORTALJABAR,- Pada tahun 2022 dan 2023 akan terjadi pergantian 272 kepala daerah.
Di tahun 2022 ada 101 kepala daerah yang diganti, sedangkan di tahun 2023 sebanyak 171 kepala daerah diganti.
Untuk mengisi kekosongan, seluruh daerah itu akan diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah yang akan ditunjuk atau diangkat oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri)sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
“Saya berani mengatakan, pejabat ini, karena ia ditunjuk untuk mengisi kekosongan, kewenangan dan fungsi pemerintahannya sejajar dengan yang dipilih.” ujar anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse S saat menjadi narasumber dalam webinar bertajuk Tantangan Pj Kepala Daerah Terhadap Pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang digelar secara daring, Kamis (31/3).
Zulfikar mengatakan berbeda dengan Plt, Pjs dan Plh, para Pj ini hadir dengan periodisasi jabatan dengan keadaannya masing-masing.
Ia berpendapat saat dijabat Pj terdapat dua tantangan dalam RPJMD, yakni; bisa melanjutkan RPJMD yang sudah dibuat atau karena pejabat daerah dianggap sejajar, maka dia dapat membuat baru.
“Pj pejabat daerah bisa melanjutkannya melalui penyelarasan dengan rencana pembangunan jangka panjang nasional dengan durasi sekitar 20 tahun,” tukasnya.
Sementara peneliti Indonesian Politics Research and Consulting (IPRC) Idil Akbar menjabarkan beberapa poin penting, yakni durasi pejabat dapat menjabat, apa saja wewenangnya, dinamika politik menjelang 2024, serta apakah RPJMD dimungkinkan.
Menurutnya dalam pasal 201 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016, (durasi jabatan) pejabat daerah hanya dibatasi 1 tahun dan bisa diperpanjang 1 tahun. Maka, dalam konteks ini, Pj dapat dilaksanakan dalam durasi tertentu oleh individu yang sama maupun berbeda.
“Jika kaitannya dengan undang-undang, durasi jabatan pejabat daerah selama lebih dari 2 tahun harus dilihat sebagai sesuatu yang problematik.” jelas Idil.
Ia mengatakan pejabat daerah harus menaati larangan, kecuali dengan izin Kemendagri.
Hal ini, kata dia, membuka celah bahwa pejabat itu sejatinya memiliki wewenang yang setara dengan para pejabat definitif.
“Agak naif bila kita mengatakan kemendagri maupun pejabat daerah tidak bersifat politis. Bagaimanapun ini soal banyaknya kepentingan elit. Tetapi, sejauh ini kita masih mencoba untuk berpikir positif bahwa ini adalah bagian dari orientasi pelayanan kepada masyarakat dalam kerangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan daerah,” beber dia.
Ia menambahkan posisi pejabat daerah bukanlah sesuatu yang bisa ditawar.
Karena dalam konteks ini, mereka adalah bagian dari pemerintahan.
Menurut Idil, Pj harus mengedepankan netralitas.
Selain itu, membantu menyiapkan anggaran merupakan hal yang penting– terutama untuk Pilkada 2024.
“Kemudian mengampanyekan keikutsertaan publik di Pilkada 2024. Selain itu juga fokus pada pelayanan dan menjaga kondusifitas.” lanjut Idil Akbar.
Ia menegaskan pejabat daerah tidak memiliki kewenangan dalam pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Sejauh yang saya baca, pejabat daerah tidak memiliki kewenangan untuk membuat RPJMD. Problemnya, RPJMD berlaku selama 5 tahun dan melekat pada hak dan kewenangan kepala daerah definitif,” kata Idil saat
Ia menambahkan terkait celah dalam konteks izin menteri, apakah kebijakan itu termasuk dengan kewenangan membuat RPJMD menjadi pertanyaan yang harus didiskusikan.
Menanggapi hal tersebut Idil berpendapat perlunya membangun komunikasi intensif dengan DPRD diperlukan agar ada kesamaan visi dan misi terhadap daerah dalam memberikan pelayanan dan kesejahteraan.
“Pemerintah perlu membuat Perppu untuk mengisi kekosongan-kekosongan yang tidak diatur dalam undang-undang terkait wewenang pejabat daerah,” pungkasnya.
Narasumber lainnya Kasubdit Perencanaan, Evaluasi, dan Informasi pembangunan daerah Wilayah II, Bob Sagala mengatakan bahwa pembangunan daerah merupakan perwujudan dari pelaksanaan urusan pemerintahan yang telah diserahkan ke daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.
“Selain melaksanakan urusan pemerintahan sesuai dengan kewenangannya, daerah juga diharuskan untuk berkontribusi pada pencapaian target pembangunan nasional” paparnya.
Ia menyebut bahwa perencanaan pembangunan daerah tidak sama dengan penganggaran daerah.
Dalam prinsip manajemen strategis. dipertimbangkan resources yang ada, apa yang dikerjakan, serta output dan outcome.
“Di RPJMD itu, yang harus dipertanggungjawabkan adalah kinerja organisasi. Seperti janji-janji politik. Di luar itu, penyelenggaraan keotonomian daerah juga patut diperhatikan.” tambah Bob.
Ia mengungkapkan disebut RPJMD adalah penjabaran visi misi dan program kepala daerah definitif.
Pertanyaannya, apakah seorang PJ berhak menentukan hak tersebut.
Ia menegaskan tidak mungkin pejabat daerah diminta untuk menyusun RPJMD karena tidak sesuai dengan undang-undang
“Sebagai solusi kami mengusulkan agar mempertimbangkan masukan dan saran pada forum Rakor BAPPEDA dan masukan dari kalangan akademis. Kedua, pemerintah daerah harus banyak mempertanyakan kepada Kemendagri untuk menghadapi masa menjelang pelaksanaan pilkada serentak nasional tahun 2024. Ketiga, kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2022 membutuhkan dasar dalamp penyusunan RKPD Tahun 2023,” tandas dia. (nie/*)
Discussion about this post