PORTALJABAR – Dua orang istri Adipati Tuban Ronggalawebersikukuh menempuh jalan Sati begitu tahu suaminya gugur dalam pertempuran di Sungai Tambak Beras. Sati adalah tradisi bela pati untuk orang terkasih. Ritual kematian dengan cara membakar diri atau menusukkan keris pada tubuh sendiri.
Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga yang dirundung duka teramat sangat, menginginkan Sati. Bagi keduanya, bela pati sebagai bukti cinta sekaligus kesetiaan istri kepada suami. Begitu siuman dari pingsannya, keduanya langsung mengungkapkan niatnya.
Dalam Serat Ranggalawe karya R Ranggawirawangsa, keinginan bela pati disampaikan kedua istri Ronggalawe di saat seluruh isi Kadipaten Tuban menangis. “Kedua putri itu segera memastikan diri untuk ikut bela pati seiring dengan ajalnya sang suami,” tulis Ranggawirawangsa.
Kabar kematian Ronggalawe dalam pertempuran melawan pasukan Majapahit di aliran Sungai Tambak Beras, membuat semua berduka. Di Kabupaten Tuban. Arya Wiraraja atau Arya Adikara atau Banyak Wide, ayah Ronggolawe sontak terdiam sekaligus tertunduk lesu.
Yang ia ingat, Ronggolawe adalah satu-satunya putra, yang di pundaknya ia menaruh harapan tinggi. Cita-cita dan kebesaran. Adipati Ronggalawe layak menerima pengharapan itu. Sosok, kepandaian, keberanian sekaligus jiwa ksatria Raden Soreng (nama kecil Ronggolawe) disegani lawan maupun kawan.
Teringat jasa besar Ronggolawe yang ikut mendirikan Kerajaan Majapahit. Bersama Lembu Sora, dan Nambi serta para loyalis Raden Wijaya lain, Lawe bertempur habis-habisan mengusir ratusan ribu prajurit Khubilai Khan. Ronggalawe bersama Raden Wijaya juga berperang melawan pasukan Kediri.
Di saat Raden Wijaya masih dikejar-kejar pengikut Jayakatwang, Adipati Sumenep Banyak Wide juga yang menjadi pelindungnya. Di Kadipaten Sumenep Madura, menantu Raja Kertanegara itu bersembunyi.
Atas saran Banyak Wide juga, Raden Wijaya memperoleh hutan Tarik yang kelak berdiri Kerajaan Majapahit.
Banyak Wide hanya bisa tertegun dan merenung. Ronggolawe, putranya telah gugur secara tragis. Mati dengan cap sebagai pemberontak karena melawan Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang ia pernah ikut mendirikannya.
Pada hari kelima peperangan antara prajurit Tuban dengan Majapahit, Ronggolawe bertemu Mantri Jaladi Kebo Anabrang.
Duel tak terelakkan. Di aliran sungai Tambak Beras, Jombang. Ronggolawe yang berani melawan Majapahit karena menolak pengangkatan Nambi sebagai Mahapatih tidak berkutik.
Pitingan tubuh Kebo Anabrang yang sekaligus membenamkan kepala Ronggolawe ke dalam air, membuat Adipati Tuban itu meregang nyawa.
Lembu Sora yang merupakan paman Ranggalawe, tidak tega menyaksikan proses kematian keponakannya. Sora sontak meradang, begitu melihat Kebo Anabrang masih juga mencaci Ronggolawe yang sudah menjadi mayat.
Dengan sebilah keris, Patih Kediri itu menikam Kebo Anabrang hingga tewas.
Sementara usai menyatakan tekad berbela pati menyusul suami (Ranggalawe), Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga, langsung meminta restu Ki Ageng Palandhongan, ayahnya. Kaki Ki Ageng Palandhongan dan istri, dicium sekaligus memohon pamit.
Melihat suasana duka yang berlarut-larut itu, Arya Adikara atau Banyak Wide, mencoba mencairkan suasana. “Marilah kita sabar dan tawakal, menerima apa adanya. Rupanya semua ini sudah takdir belaka. Tentu baginda raja tak akan melupakan jasa-jasa dan darmabakti si Lawe,” kata Banyak Wide seperti dikisahkan Serat Ronggolawe.
Dengan hati remuk redam Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menciumi jasad Ronggolawe. Sebentar terdengar sedu sedan serta ratapan pilu. Begitu selesai berbela sungkawa dengan suara tersendat-sendat, kedua istri Ranggalawe melanjutkan rencana bela patinya. Masing-masing menghunus keris.
Dengan gerak cepat, Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menusukkan keris ke dada masing -masing. Seketika itu ambruk. Jasad kedua perempuan setia itu tergeletak di bawah kaki jasad Ronggolawe, suaminya. Melalui sebuah upacara, Kerajaan Majapahit menyucikan jenazah Ronggolawe beserta kedua istrinya.
Ketiga jenazah dibakar di sebuah pancaka, yang kemudian abunya dilarung ke samudera. “Semua telah menjalani takdirnya masing-masing. Rasanya dinda Ranggalawe tidaklah mati. Dia hanya pergi tanpa pamit padaku lebih dulu,” kata Raja Wijaya seperti terkisah dalam Serat Ronggolawe.
Sumber: okezone.com