PORTALJABAR,- Isu penundaan pemilihan umum 2024 yang dilontarkan sejumlah elite politik menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Tanah Air.
Wacana ini menggugah kaum muda sebagai calon pemimpin di masa mendatang menyuarakan aspirasi mereka.
Hal ini pula yang mendasari Bandung School of Democracy menggelar seminar daring bertajuk Perspektif Kelompok Muda dan Mahasiswa terkait Wacana Penundaan Pemilu 2024, Sabtu (12/3).
Direktur Eksekutif Bandung School of Democracy Fahmy Iss Wahyudy mengemukakan, isu penundaan pemilu merupakan isu yang telah bergulir beberapa tahun ke belakang.
“Isu ini sudah bergulir lama, Februari tahun ini kian menarik karena disampaikan oleh elite politik,” kata Fahmy.
Fahmy menilai, generasi muda memiliki potensi besar untuk menentukan kemajuan Indonesia di masa mendatang.
Apalagi, diprediksi 70 persen suara pemilu 2024 akan diisi oleh generasi muda atau kaum milenial.
“Kelompok muda secara statistik jumlah suara sangat signifikan 2024, jadi isu penundaan pemilu ini tidak mungkin luput dari pembicaraan,” ucapnya.
Fahmy meminta generasi muda untuk lebih lantang dalam menyuarakan pemberhentian isu penundaan Pemilu 2024.
Pasalnya, jika itu terealisasi, maka generasi muda yang akan menanggung kerugian.
“Harus banyak aktif pembicaraan sosial politik, jangan mau dieksploitasi suaranya tapi suaranya tidak didengar,” tegas Fahmy.
Fahmy mengungkap, salah satu implikasi yang dapat ditimbulkan oleh penundaan pemilu adalah terjadinya ambiguitas pelaksanaan pemilihan kepala daerah di ratusan kota dan kabupaten.
Secara normatif, calon kepala daerah harus mengantongi dukungan partai politik hasil pemilu 2024. Jika pemilu ditunda, maka dapat dipastikan bahwa pilkada 2024 akan menghadapi turbulensi kencang.
“Diperlukan perubahan undang-undang dan aturan turunannya agar pilkada dapat dilaksanakan. Artinya, sirkulasi kepemimpinan di tingkat lokal juga akan secara otomatis terganggu,” ucap Fahmy.
Sementara itu, peneliti Indonesian Politics and Research, M Indra Purnama menyebut, isu yang muncul saat ini merupakan risiko dari sebuah negara demokrasi, sehingga siapapun bisa bebas berpendapat.
“Namun begitu, tidak mudah juga wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden ini direalisasikan, karena harus ada beberapa mekanisme yang mesti dilewati,” papar Indra.
Indra menerangkan, penundaan pemilu bisa dilakukan bila presiden mengeluarkan dekritnya, yang otomatis mengubah segala konstruksi hukum dan perundang-undangan yang ada. Kemudian konvensi ketatanegaraan, dan melakukan amandemen konstitusi.
“Untuk yang pertama dan kedua, saya pikir akan sulit dilakukan, apalagi Presiden Jokowi sudah menyatakan sikapnya untuk tetap taat kepada konstitusi,” ujar Indra.
Amandemen konstitusi, diutarakan dia, menjadi salah satu cara yang memungkinkan untuk lakukan penundaan pemilu. Hanya saja, hal itu pun tak mudah diwujudkan lantaran membutuhkan sekitar 237 suara anggota MPR RI yang mengajukan perubahan amandemen.
“Sekarang kan baru dua partai yang terang-terangan mendukung wacana penundaan pemilu ini, bila kursi keduanya digabung jumlahnya masih 102. Apakah ini akan terpenuhi? Kelihatannya sulit, karena sejumlah partai sudah menyatakan sikapnya untuk tetap taat pada konstitusi yang ada sekarang ini,” urainya.
Dampak yang ditimbulkan bila penundaan pemilu dilakukan, imbuh Indra, sungguh besar. Pasalnya, ratusan daerah di Indonesia akan dipimpin oleh penjabat sementara (pjs) maupun pelaksana tugas (plt). Hal ini akan mengganggu jalannya pemerintahan di masing-masing wilayah, yang otomatis menyulitkan masyarakat untuk beraktivitas.
“Karena ada keterbatasan wewenang untuk pjs dan plt, sehingga mereka tidak dapat membuat kebijakan-kebijakan strategis yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Apalagi masa tugas pjs dan plt ini akan sangat panjang, dan kondisi tersebut juga harus dipikirkan,” tutur Indra.
Pada kesempatan sama, Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Jawa Barat Ahmad Jundi meminta secara tegas agar wacana penundaan pemilu harus segera dihentikan. Meski ada kebebasan demokrasi, tapi isu ini telah berubah menjadi suatu gerakan yang mengancam konstitusi.
“Dalam demokrasi wacana itu memang dilindungi, tapi saat wacana penundaan ini telah menjadi gerakan, ini ancaman konstitusi, harus ada tindakan tegas,” imbuh Jundi.
Selain itu, generasi muda menjadi kalangan yang paling dirugikan bila penundaan pemilu benar-benar terwujud. Pasalnya, anak muda Tanah Air memiliki potensi yang mumpuni untuk berkiprah dalam politik untuk memajukan Indonesia.
“Anak muda adalah yang paling dirugikan jika penundaan pemilu atau perpanjangan presiden terealisasi, saluran percepatan maju ke gelanggang politik akan tersumbat, wacana ini harus cepat dihentikan, jangan sampai berlarut-larut,” pungkasnya. (*)