KOTA BANDUNG,– Koalisi Indonesia Maju atau KIM, koalisi partai politik pendukung presiden-wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, berambisi memperbesar koalisi dengan mengajak partai politik lain untuk pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah.
Penggemukan koalisi yang disebut KIM plus ini berpotensi memunculkan pasangan calon tunggal di pemilihan daerah.
Skenario pembentukan satu poros koalisi yang hanya mengusung satu calon pasangan di pilkada itu dinilai sebagai implikasi dari sistem multipartai yang berkelindan dengan syarat pencalonan yang tinggi.
Situasi itu cenderung menguntungkan para calon yang memiliki tingkat keterpilihan dominan atau parpol yang tidak hanya menguasai peta politik daerah tetapi juga nasional.
Dibutuhkan komitmen dari partai-partai politik untuk tetap menjaga marwah demokrasi dengan memunculkan kompetisi yang adil dalam memilih kepala daerah.
Kepala Bidang Politik dan Kajian Isu Strategis Gerakan Mahasiswa Pasundan (Gema Pasundan) Irwan Hendrawan mengatakan, kecenderungan untuk membentuk satu poros koalisi pada Pilkada 2024 merupakan imbas dari sistem multipartai serta tingginya ambang batas dan tidak ada batas maxsimum pencalonan kepala daerah.
Dari 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pilkada, mayoritas parpol harus berkoalisi karena tak memenuhi syarat pencalonan, yakni 20 persen dari total kursi DPRD.
“Partai-partai sulit untuk mencalonkan sendiri dan membangun koalisi sendiri sehingga mereka umumnya bergabung dengan pihak yang menawarkan maka sangatlah realistis apabila adanya batas maksimum koalisi dalam mengusung calon kepala dan wakil kepala daerah sebagai upaya preventive justice dalam Pilkada di Indonesia agar tidak dihadapkan pada kotak kosong atapun dengan cara aklamasi”,kata Irwan, Minggu (11/08)
Irwan melihat dalam sistem multipartai di Indonesia, seolah-olah parpol tidak memiliki kedaulatan politik. Seolah-olah ada kekuatan yang tak tampak (the invisible hand) yang mengatur koalisi di pilkada.
Dalam konteks tertentu, kerja sama partai politik itu memang dapat diartikan baik karena menciptakan persatuan kekuatan yang besar.
Namun, di sisi lain, saat pilihan calon semakin terbatas yang dirugikan justru masyarakat.
Dengan profil masyarakat yang luas dan beragam, tidak mungkin semua memiliki preferensi politik yang sama.
“Oleh karena itu, tren koalisi besar yang berpotensi menghasilkan calon-calon tunggal diharapkan tidak dilanjutkan karena akan merusak demokrasi.
”Apa artinya multipartai sistem jika akhirnya terjadi baku atur koalisi? Perlu ada perbaikan sistem untuk ke depannya demi menjaga kedaulatan partai politik,” kata Irwan.
Perbaikan itu, lanjutnya, diperlukan untuk menjaga demokrasi agar berjalan pada rel yang benar.
Jika tidak dilakukan perbaikan sistem menyeluruh, ia khawatir praktik berdemokrasi saat ini bisa membunuh demokrasi itu sendiri.
Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong, tegasnya, menggerus prinsip-prinsip dalam demokrasi, yaitu tidak memberikan ruang yang setara bagi masyarakat untuk memilih.
Menurut Irwan, fenomena ini terjadi karena Penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang oleh Jokowi untuk melenggangkan kekuasannya dan menjegal tokoh yang akan mencalonkan diri menjadi kepala daerah yang berpotensi menggagu jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Skenario Pembentukan KIM Plus sebagai strategi Jokowi dengan menggunakan kekuasanya yang sewenang-wenang, untuk menjegal tokoh-tokoh yang akan mengganggu jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran,” ujar Irwan
Irwan juga menilai bahwa skenario ini merupakan upaya Jokowi untuk meneruskan ambisi dan warisannya dengan mengestafetkan tampuk kekuasaan kepada keluarganya.
Setelah Gibran Rakabuming Raka melaju menjadi calon wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto, kini putra bungsu Jokowi, yakni Kaesang yang akan mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta, Bobby Nasution menantu Jokowi yang mencalonkan diri menjadi Gubernur Sumatra Utara.
“Satu hal untuk catatan konstitusi kita ya, bahwa konstitusi kita tidak dirancang untuk keluarga, dan hari ini Jokowi mengupayakan segala cara agar keluarganya menjadi pejabat itu membuktikan bagaimana tiraninya Jokowi,” kata Irwan
Airlangga Hartarto yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada hari Minggu, 11 Agustus 2024, menurut Irwan, diduga kuat skema memuluskan karpet merah jokowi atau Gibran apalagi sebelum Airlangga mengundurkan diri, kursi Ketua Umum Golkar telah digoyang sejak pertengahan tahun lalu.
“Soal Airlangga yang mengundurkan diri dari Ketua Umum Golkar ini sangat menarik untuk dibahas dan didiskusikan. Sebagai partai besar dan tertua di Indonesia, siapa yang tidak tertarik untuk menjadi puncak pimpinan Golkar. Karena itu mundurnya Airlangga diduga kuat merupakan skema memuluskan karpet merah Jokowi atau Gibran untuk melenggangkan kekuasaannya. Apalagi sehari sebelum teken surat mundur, Airlangga bertemu dengan Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta,” tandasnya. (*)