PORTALJABAR,- Anggota DPR RI dari Partai NasDem Dapil 1 Jawa Barat (Kota Bandung-Kota Cimahi) Muhammad Farhan menyinggung RUU TPKS, Presidential Threshold dan Oligarki saat kegiatan Kaderisasi dan Pendidikan Politik Partai NasDem Jawa Barat, Kamis, (30/12) lalu di Bandung.
Usai kegiatan Kaderisasi dan Pendidikan Politik Partai NasDem Jawa Barat, Farhan mengatakan, kegiatan ini merupakan bagian dari tugasnya dalam masa reses untuk melakukan pendidikan politik untuk kader-kader Partai NasDem.
“Dalam kegiatan ini saya memberikan dasar-dasar pengetahuan politik di Indonesia tentang peran dan fungsi partai politik di Indonesia, dan juga bagaimana anggota partai politik bisa berkontribusi dan berperan dalam kemajuan di Indonesia,” kata Farhan.
“Pada masa sidang kedua ini apa yang kita perjuangkan masih tentang draft RUU TPKS agar segera disahkan oleh sidang Paripurna DPR RI sebagai inisiatif DPR RI karena RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini masih tertahan dan belum disahkan sebagai inisiatif DPR RI. Padahal semua tahu, kita sangat membutuhkan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam rangka melengkapi berbagai macam hukum yang sudah ada, baik itu KUHP, undang-undang KDRT, dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” tegasnya.
Lebih lanjut Farhan mengatakan, perubahan yang dibutuhkan saat ini adalah kedewasaan berpolitik masyarakat,
“Karena dengan meningkatnya kedewasaan dan kesadaran berpolitik masyarakat artinya partisipasi publik dalam setiap proses politik di dalam kerangka demokrasi itu semakin lama semakin tinggi, supaya politik ini dan sistemnya tidak dikuasai oleh oligarki-oligarki yang menjadi bagian elit yang menguasai dan mempengaruhi negara ini,” ujarnya.
Ia mengatakan oligarki sangat berkuasa, karena oligarki merupakan bagian dari elite global.
Dan ini merupakan hal yang wajar dan tanda kutip merupakan suatu pergulatan kelompok oligarki dan kelompok demokratis, tentu harus ada titik temunya, karena kedua-duanya ada, dan kekuatannya tidak kecil..
“Salah satunya yang sedang diungkit adalah Presidential Threshold, mau tidak mau Presidential Threshold bagaimanapun harus menjadi titik temu di antara kelompok-kelompok berkekuatan besar dan elit dengan kelompok egaliter,” kata Farhan.
Farhan mengatakan pihaknya tidak bisa memenuhi keinginan nol persen.
Karena itu, imbuh dia, Partai NasDem pernah mengusulkan agar Presidential Threshold diturunkan menjadi lima belas persen, tetapi kompensasinya Parliamentary Treshold dinaikkan menjadi tujuh setengah persen.
Sampai sekarang, katanya lagi, usul tersebut masih ada dan belum ditolak tapi belum bisa dilaksanakan, sehingga saat ini Presidential Threshold masih dua puluh persen dan Parliamentary Treshold masih empat persen.
“Saya khawatir apabila Presidential Threshold nol persen karena konsekuensi yang sangat berat adalah parlemen harus bubar, karena nanti siapapun yang menjadi Presiden bertanggung jawabnya kepada siapa?, apakah kepada MPR?, padahal MPR terdiri dari partai, jadi untuk apa ada partai? maka Presidential Threshold minimal lima belas persen, maka koalisinya tidak perlu gemuk, sehingga jumlah pilihan calon bisa lebih dari dua, karena kita ingin pilihan calon lebih dari dua,” kata Farhan.
Ia mencontohkan bila calon hanya dua seperti di Amerika, memang pernah di Amerika ada tiga calon independen, tetapi menunjukkan demokrasi yang dikuasai oleh oligarki.
Sedangkan demokrasi sosialis murni contohnya Perancis yang tetap menggunakan Presidential Threshold, walau berbagi dengan Perdana Menteri lain lagi ceritanya, karena memang sistemnya berbeda dengan Indonesia.
“Kita memang akan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi khususnya yang melibatkan banyak orang, jadi keterlibatan yang tinggi artinya egalitarianisme kita ke depankan, namun kita harus mempertimbangkan, ini namanya semangat restorasi, yaitu menempatkan semuanya pada tempatnya, atau to Restore, bahwa kalau memang menuntut Presidential Threshold nol persen maka parlemen dan partai bubar, atau dirubah siatemnya, tidak Presidential tetapi Parliamentary, jadi Presiden tidak bertanggung jawab kepada siapapun dan hanya menjadi kepala negara dan simbol, Perdana Menteri yang bekerja, dan Perdana Menteri bertanggung tetap jawab kepada parlemen,” ungkapnya.
“Wacana ini tidak boleh dimatikan, harus dibuka terus, ini menunjukkan bahwa kita ini negara yang demokratis,” tegas Muhammad Farhan.
Mengenai Pemilu dan Pilkada 2024
Muhammad Farhan mengatakan, Indonesia akan menghadapi Pemilu dan Pilkada 2024.
Siapapun calonnya, kata dia, sangat tergantung dari hasil Pemilu 2024, karena Pemilu dilaksanakan terlebih dahulu sebelum Pilkada, dan untuk menentukan calon di Pilkada tergantung dari hasil Pemilu 2024.
“Kita pernah meminta Presiden mengubah kembali tentang Pemilu dan Pilkada serentak, tetapi saat itu semua partai termasuk Presiden tidak mau dan tetap pada kesepakatan lama, karena pengalaman pada Pemilu 2019 korbannya banyak, dan kita tidak terbayang di Pemilu 2024 teknisnya seperti apa, karena dalam setahun kita akan menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada 2024 secara serentak, di semua Provinsi dan Kota serta Kabupaten,” ungkap Muhammad Farhan.
“Kalau orangnya harus banyak, berarti KPU harus menambah anggaran, dan belum tentu KPU bisa merekrut begitu banyak orang dalam waktu singkat, bahkan sampai sekarang belum disepakati kapan Pemilu 2024, kalau Pilkada sudah jelas November 2024 sesuai dengan amanat Undang-Undang, kalau Pemilu 2024 jadwalnya bisa maju bisa mundur karena dalam Undang-Undang disebutkan yang menentukan adalah KPU,” kata Farhan.
Di akhir paparannya Farhan mengatakan, pesan khusus dari Ketua Umum Partai NasDem adalah pada dasarnya kegiatan ini adalah salah satu bentuk untuk menjaga semangat restorasi kepada seluruh kader Partai NasDem.
“Karena kita partai yang baru dua kali ikut Pemilu dan usia juga baru sepuluh tahun, maka kita ingin menunjukkan kita harus mampu membangun struktur kaderisasi sampai ke level kelurahan, dan berikutnya sebelum 2024,” kata Muhammad Farhan.
“Insha Allah kita bisa menyentuh level RW dan RT, karena bagaimanapun juga partai politik tidak boleh berhenti menjadi sebuah kelompok elit, harus masuk ke level terdalam dan kelompok terkecil dari masyarakat,” pungkasnya. (*)