KOTA BANDUNG,- Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono menyoroti langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberi ampun 73 perusahaan sawit dan tambang yang beroperasi dalam kawasan hutan.
KLHK memberikan ampun berdasarkan lingkungan mengacu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Yang saya tanyakan apakah KLHK sudah mempunyai dasar yang kuat, berdasarkan kepentingan negara dan prinsip keadilan serta kerusakan dan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kawasan hutan yang telah berubah menjadi kebun dan tambang,” kata Anggota Fraksi PDI Perjuangan ini, Selasa (30/8).
Menurut Ono, jika keputusan tersebut hanya berdasarkan pasal-pasal dalam Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka tidak bisa menjadi dasar.
Terlebih, kata Ono, masih banyak pihak yang mengatakan UU Cipta Kerja tidak bisa menjadi dasar pasca putusan Mahkamah Konstitusi atau MK.
Bahkan, MK meminta DPR untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja terutama menyangkut metode omnibus hingga kesalahan rujukan dan kesalahan penulisan.
“Masih banyak pihak mengatakan hal itu tidak bisa menjadi dasar pasca Keputusan MK. Saya yakin keputusan tersebut hanya menguntungkan bagi perusahan kebun dan tambang tersebut,” papar Ono.
Ono mengakui, saat ini kawasan hutan sendiri terbagi beberapa kluster yang terdiri dari korporasi, perorangan dan masyarakat.
Hal tersebut jika mengacu laporan KLHK tentang kebun-kebun yang menggunakan kawasan hutan dan belum berizin.
“Bila melihat laporan KLHK tentang kebun-kebun yang menggunakan kawasan hutan dan belum berizin, maka terbagi beberapa kluster terdiri dari korporasi dan perorangan atau masyarakat yang seharusnya dibagi-bagi kembali menjadi kluster-kluster berdasarkan luas lahannya,” papar Ketua DPD PDIP Jawa Barat ini.
Dengan kondisi demikian, Ono menilai, KLHK gegabah dalam mengeluarkan kebijakan tersebut.
Sebab, KLHK seharusnya dapat memberikan perlakukan yang berbeda dengan pihak penggarap perorang atau korporasi dalam memberikan sanksi.
“Ada perorangan yang hanya menggarap 2-5 hektar are tapi ada pula perorangan yang menggarap ratusan hektar maka harusnya perlakuannya juga harus beda. Apalagi terkait korporasi yang menggarap ratusan ribu hektar. Sehingga seyogyanya KLHK tidak gegabah mengeluarkan kebijakan itu,” tandas Ono. (*)