PORTALJABAR,- Diskursus pencalonan presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024, selalu hadir dalam wacana media mainstream.
Berbagai spekulasi menanggapi hasil survei tidak luput dilakukan oleh para pengamat politik.
Berdasarkan pantauan penulis setidaknya terdapat beberapa calon yang memiliki potensi dalam pencalonan Presiden 2024 nanti, yakni, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, bahkan Erick Thohir.
Hasil survei terakhir yang dirilis oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada bulan Februari 2022 lalu dalam simulasi semi terbuka 29 nama tokoh, menempatkan Ganjar Pranowo dengan elektabilitas 26,8%, disusul Anies Baswedan 13,9%, lalu Prabowo Subianto pada posisi ketiga dengan elektabilitas 13,7%, Sandiaga Uno 5,8%, dan Ridwan Kamil 5,1%.
Dari 5 tokoh potensial di atas 3 diantara-Nya merupakan kepala daerah, Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), dan Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat).
Posisi ketiga tokoh tersebut membawa dampak positif bagi raihan elektabilitas masing-masing tokoh.
Popularitas serta aksi-aksi blusukan, membuat ketiga tokoh tersebut mendapatkan insentif elektabilitas.
Berkaca pada pemilihan presiden 2014 yang dimenangkan oleh Joko Widodo, memunculkan tesis baru terkait potensi kepala daerah dalam kontestasi pemilihan presiden.
Dari dua pemilihan presiden sebelumnya (2004 & 2009), atau sejak diberlakukannya pemilihan presiden secara langsung, tidak ada satu pun calon presiden yang memiliki latar belakang atau pernah menduduki jabatan kepala daerah sebelumnya.
Mayoritas calon merupakan tokoh atau pemimpin partai politik.
Keberhasilan Joko Widodo – dengan latar belakang kepala daerah – mengalahkan Prabowo Subianto – yang merupakan tokoh atau pemimpin partai politik Gerindra – memberikan antitesis bahwa presiden tidak harus selalu memiliki latar belakang tokoh atau pemimpin partai politik.
Potensi Kehilangan Momentum
Hadirnya wacana penundaan pemilu yang digulirkan oleh beberapa tokoh partai politik memunculkan beragam perdebatan. Faktor pemulihan ekonomi pada masa pandemi covid-19 menjadi alasan utama.
Di samping faktor yang menjadi alasan penundaan pemilu, konsekuensi politik daripada penundaan pemilu patut menjadi perhatian, setidaknya berdampak pada konstelasi politik pemilihan presiden (yang sampai pada tulisan ini dibuat akan diselenggarakan pada tahun 2024).
Dalam desain pemilihan umum serentak nasional dan daerah, penundaan pemilu 2024, salah satunya, berimplikasi terhadap kekosongan jabatan kepala daerah yang akan selesai pada tahun 2022, 2023 dan 2024.
Kekosongan tersebut akan diisi oleh penjabat kepala daerah, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang telah disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil, menjadi gubernur yang akan berakhir pada tahun 2022 (Anies) & 2023 (Ganjar & RK).
Kehilangan posisi sebagai gubernur otomatis berpengaruh terhadap kehilangan ‘panggung politik’.
Posisi kepala daerah, pada satu sisi memberikan kesempatan untuk membangun citra personal sebagai pemimpin.
Sebagaimana Joko Widodo, membangun citra sebagai pemimpin blusukan sejak dirinya menjabat Wali Kota Solo pada tahun 2005 – 2012, dan berlanjut pada saat menjabat menjadi Gubernur Jakarta pada tahun 2012 – 2014.
Hilangnya ‘panggung politik’ yang dimiliki oleh calon potensial kepala daerah, disertai penundaan pemilu hingga dua tahun, berpengaruh terhadap hilangnya momentum kepala daerah dalam kontestasi pemilihan presiden.
Jarak antara habisnya masa jabatan dengan pelaksanaan pemilu yang cukup lama, yakni tiga tahun (asumsinya pemilu baru akan dilaksanakan pada tahun 2026), berpotensi melunturkan citra kepemimpinan yang selama ini telah dibangun.
Memori publik Indonesia yang relatif pendek, menjadi faktor lain.
Joko Widodo berhasil menduduki jabatan presiden pada tahu 2014, tidak lepas daripada jarak antara pemilihan presiden dan ‘panggung politik’ yang dimiliki relatif dekat.
Jokowi menjadi tokoh sentral dalam pemberitaan media-media mainstream berkat kinerjanya sebagai gubernur DKI Jakarta yang dibungkus dengan gaya blusukan.
‘Panggung Politik’ yang berimplikasi pada intensitas pemberitaan media, pada akhirnya berpengaruh terhadap penguatan memori publik akan citra kepemimpinan yang dibangun.
Hilangnya ‘panggung politik’, disertai jarak antara habisnya masa jabatan kepala daerah dengan pemilihan umum yang cukup panjang, berpengaruh terhadap lunturnya citra kepemimpinan yang telah dibangun, serta hilangnya memori publik atas kinerja yang telah dihasilkan oleh tiga kepala daerah.
Penundaan pemilu akan berdampak pada hilangnya momentum yang dimiliki oleh tiga calon potensial kepala daerah dalam kontestasi pemilihan presiden. (*)
Penulis:
Tedy Nurzaman
Peneliti IPRC (Indonesian Politics Research and Consulting)