Penulis: Ahmad Akbar Hidayat – 1910631190051
PORTAL JABAR,- Perang dunia maya di media sosial berkecamuk selama dua pemilihan presiden terakhir di Indonesia. Diskusi online lebih dicondongkan untuk memberi kesan pandangan kepada salah satu pihak, dan mereka yang tidak setuju tetap diam.
Fenomena ini disebut oleh ilmuwan politik Jerman Elisabeth Noelle-Neumann sebagai teori ‘spiral of silence’, di mana sekelompok publik tetap dalam cengkeraman ketakutan dan menekan partisipasi mereka dalam diskusi publik.
Algoritma mengurutkan umpan media sosial pengguna berdasarkan relevansi dan minat. Di Indonesia, para netizen menjadi berpengaruh ketika mereka menggunakan algoritma untuk mengubah popularitas suatu topik.
Pada beberapa tahun belakangan, media massa dapat mempengaruhi diskusi publik dengan mendorong agenda tertentu, tetapi sekarang algoritma melangkah lebih jauh, mendistorsi persepsi publik tentang pandangan mayoritas.
Netizen yang terkadang lebih dikenal sebagai ‘buzzer‘ berbayar, bisa dibilang dikelola oleh ahli strategi kampanye resmi, membuat umpan media sosial yang sangat spesifik yang memperkuat dan secara sistematis memindahkan poin pembicaraan ke dalam wacana politik arus utama. Salah satu tujuannya adalah untuk membungkam kebebasan pers dengan mengatur poin pembicaraan di media sosial.
Contohnya, tagar #TurunkanJokowi mencapai puncaknya pada 7 April 2022, sementara #MahasiswaBergerak dan #SayaBersamaJokowi muncul pada 9 April. dan mencapai puncaknya pada 10 April.
Topik seperti #SayaBersamaJokowi diciptakan oleh seorang netizen dan kemudian dibahas oleh pengguna media sosial lainnya. Ketika wartawan mencoba meliput gerakan mahasiswa (dengan hastag #MahasiswaBergerak), para netizen fokus pada kritik terhadap Jokowi. Ini menciptakan lingkungan yang mengancam bagi jurnalis karena mereka menawarkan narasi yang berbeda dengan #SayaBersamaJokowi dalam percakapan media sosial.
Generasi X (1965 – 1980) dan baby boomer (1946-1964) sangat bergantung pada Facebook, Instagram, dan WhatsApp untuk mendapatkan informasi politik mereka. Ini mungkin menutup kesenjangan digital terkait usia, tetapi tidak menutup kesenjangan dalam literasi digital. Kurangnya pemahaman generasi sebelumnya dengan cara kerja algoritma membuat mereka ragu untuk menyuarakan pendapat mereka jika itu tampak sebagai pandangan minoritas. Sesuai dengan teori spiral of silence oleh Elisabeth Noelle-Neumann, mengancam kemampuan jurnalis untuk memainkan peran mereka yang biasa dalam membentuk diskusi publik.
Indonesia terkenal dengan pengguna internetnya yang aktif menurut laporan We Are Social, terdapat 204,7 juta pengguna internet di Tanah Air per Januari 2022. Namun, ini belum mengarah pada literasi digital yang baik, bahkan pada generasi yang seharusnya melek huruf. Istilah mengejek “PANASTAK” (yang berasal dari PAsukan NASi koTAK) dan “PANASBUNG” (mirip dengan panastak, tapi lebih murah lagi) bermunculan dan menciptakan istilah baru untuk politik pendukung. Pendukung Jokowi disebut “cebong”, dan pendukung Prabowo disebut “kampret”. Algoritma berarti orang yang ‘berteman’ dengan Cebong kebanyakan menerima konten yang mendukung Jokowi, dan sebaliknya.
Algoritma telah memperkuat polarisasi dan mengubah cara orang mendiskusikan politik satu sama lain. Tantangan bagi para jurnalis adalah menawarkan narasi yang lebih berimbang, dengan tetap menjaga integritasnya. Literasi media digital di Indonesia juga perlu ditingkatkan, dan ini tergantung pada kemampuan netizen untuk menilai kebenaran dan melihat gambaran secara utuh.
Daftar Pustaka:
- Septiani, Dina. 2022. “Indonesia: weaponising algorithms to silence dissent”,
- https://www.eastmojo.com/news/2022/05/05/indonesia-weaponising-algorithms-to-silence-dissent/, diakses pada 15 Mei 2022 pada pukul 11.00