PORTALJABAR,- Adanya ambang batas dalam pemilihan presiden (presidential threshold) diprediksi akan merusak tatanan demokrasi di Tanah Air.
Salah satunya adalah tidak menjamin terpenuhinya hak mencalonkan bagi setiap warga negara khususnya yang tergabung ke dalam partai politik.
Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk ‘Outlook Politik 2022’ yang diselenggarakan Indonesian Politics Research & Consulting (IPRC), di Bandung, Senin (27/12).
Dalam paparannya, guru besar politik dan keamanan Universitas Padjajaran Bandung, Muradi, menjelaskan, idealnya ambang batas pencalonan presiden tidak diperlukan.
Hal ini penting agar menjamin terpenuhinya hak setiap warga negara untuk mencalonkan diri dalam kontestasi tersebut. “Saya melihat dalam tradisi politik ideal, semua orang boleh berkontestasi,” kata dia.
Namun, menurut dia adanya ambang batas pencalonan presiden akan menggugurkan jaminan tersebut karena tidak semua partai peserta pemilu bisa mengusung kandidat.
Selain tidak menjamin terpenuhinya hak pencalonan presiden, menurut dia hal inipun bisa merusak demokrasi karena mengundang terjadinya transaksi politik.
Transaksional politik melalui campur tangan oligarki dalam menentukan kandidat sangat mungkin terjadi sehingga bisa menurunkan kualitas calon yang diusung.
“Secara teori betul ambang batas ini menjadikan demokrasi akan dikangkangi oligarki,” kata dia.
Meski begitu, Muradi menilai perlu adanya ambang batas pencalonan presiden untuk menggaransi kandidat yang diusung serta menjaga ideologi dari setiap partai.
Dia khawatir jika tanpa ambang batas pencalonan presiden, partai baru yang ideologi dan rekam jejaknya belum teruji bisa begitu saja mencalonkan presiden.
“Ini garansi saja, supaya capresnya pun punya pengalaman. Pendapat serupa pun disampaikan akademisi Universitas Sultan Agung Tirtayasa, Leo Agustino.
Menurutnya, ambang batas pencalonan menggerus rasa keadilan karena hanya partai-partai besar yang bisa mencalonkan.
“Keadilan bagi setiap partai harus dilakukan. Azas dalam pemilu kan jujur dan adil,” kata dia.
Namun, pada sisi lain Leo menilai ambang batas pencalonan presiden diperlukan agar tidak bisa sembarang partai mengusung kandidat.
“Jika semua partai bisa mencalonkan, kita tidak tahu rekam jejak kandidat yang diusung. Ini memang jadi bumerang,” kata dia.
Sebagai jalan tengahnya, Leo menilai ambang batas pencalonan presiden harus diturunkan.
Seperti diketahui, saat ini undang-undang pemilu mengharuskan partai mengantongi 20% suara jika ingin mengusung kandidat.
“Solusinya presidential threshold diturunkan jadi 10%,” kata dia.
Hal inipun penting sebagai bentuk pematangan partai politik sehingga hanya yang sudah berpengalaman yang bisa mengusung kandidat.
“Untuk menghormati partai besar, jadi partai-partai yang punya suara cukup yang bisa mencalonkan,” tandasnya. (*)