KOTA BANDUNG,- Polemik terkait dengan pengangkatan perwira TNI aktif menjadi Pj. Bupati di Seram Bagian Barat, Maluku menjadi bagian penting dari tata kelola aturan yang kurang tegas dan ketat.
Baik yang menolak kebijakan tersebut maupun yang mendukung memiliki pijakan dan argumentasi legal-politik yang sama kuat.
Guru Besar Politik dan Keamanan
Universitas Padjadjaran Bandung Prof Muradi mengatakan penekanan pentingnya anggota TNI dan Polri aktif untuk tidak menjadi pejabat kepala daerah karena merujuk pada UU No. 34/2004 tentang TNI maupun uu No. 2/2002 tentang Polri.
“Dalam UU TNI dan UU Polri pada intinya mengatur bahwa anggota TNI-Polri aktif dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun,” kata Muradi kepada awak media, Kamis (26/5).
Ia menegaskan aturan mundur dan pensiun diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022, Putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022, yang dibacakan pada 20 April 2022 lalu.
“Meski juga telah ditegaskan bahwa keputusan tersebut tidak mengikat,” ungkapnya.
Ia membeberkan Koalisi Masyarakat Sipil secara tegas menolak saat Kepala Binda Sulawesi Tengah dan juga kemudian Kepala BNPP yang ditunjuk menjadi Pj Kepala Daerah di Seram Bagian Barat dan juga Provinsi Papua Barat, serta mendesak untuk membatalkan penunjukkkan tersebut.
“Sedangkan pemerintah berdalih bahwa kedua perwira dari TNI dan Polri tersebut diangkat sebagai Pj Kepala Daerah bukan karena kepangkatan dan jabatan di satuan induknya,” kata dia.
Ia menambahkan anggota TNI-Polri yang bisa jadi Pj kepala daerah adalah mereka yang ditugaskan di luar instansi induknya, selain yang dipekerjakan di luar institusi induknya.
Selain itu, imbuh dia,anggota TNI-Polri yang alih status jadi PNS dan pensiunan juga diperbolehkan menjadi Pj kepala daerah.
“Karena itu, untuk menghentikan polemik terkait dengan penunjukkan anggota TNI-Polri menjadi penjabat kepala daerah, membutuhkan aturan yang ketat dan tegas,” cetusnya.
Muradi menegaskan ada empat penegasan yang harus diperhatikan terkait dengan hal tersebut, yakni: Pertama, sinkronisasi dan perlunya disegerakan untuk merevisi undang2 terkait dg hal tersebut.
Baik UU TNI dan Polri maupun uu terkait dengan tata kelola pemerintahan serta UU Kepemiluan, khususnya Undang-Undang Pilkada;
Kedua, penegasan dalam aturan yang ada untuk tidak menjabat ganda dalam waktu bersamaan semua anggota TNI-Polri yang menjabat posisi di luar organisasi induk, baik yang diperbolehkan secara Undang-Undang seperti BNPT, BNN, BNPN dan seterusnya maupun yang berbasis pada kebutuhan organisasi dari kementerian maupun badan.
“Hal ini penting untuk ditegaskan agar selaras dengan penekanan aturan perundang-undangan, Undang-Undang terkait dari organisasi masing-masing,” ujarnya.
Kemudian ketiga, mengintegrasikan politik kepemiluan agar dapat segera serentak melaksanakan hajat politiknya.
Sehingga mengurangi jeda politik yang membuka adanya pj kepala daerah yang pada akhirnya terjadi polemik berkepanjangan;
“Keempat, menguatkan politik birokrasi sipil yang dapat berimplikasi pada berkurangnya ketergantungan pada simbol2 yang mempersepsikan politik sipil yang lemah dan pada akhirnya membuka ruang bagi kebijakan yang mengarah pada pelibatan anggota tni-polri misalnya pada penunjukan pj kepala daerah,” tandasnya. (*)