PORTALJABAR,- Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Unpad Bandung Prof. Muradi menilai, adanya cyber attacks yang meretas data negara, patut diwaspadai.
Pasalnya, upaya untuk membuka paksa data negara tersebut dapat diperdagangkan.
Dijelaskan Muradi, pada saat ini dimana kemajuan teknologi digital di Indonesia berkembang cukup pesat, dapat menimbulkan berbagai ancaman seperti peretasan, kebocoran dan pencurian data, serangan siber hingga transaksi illegal dan masifnya penyebaran berita hoaks perlu diwaspadai.
“Konteksnya hari ini akan menjadi masalah terus. Kemudian masalah kebocoran (data) menjadi suatu masalah. Kalau saya lebih mengkhawatirkan serangan siber dan juga upaya paksa membuka data Negara yang dapat diperjualbelikan,”ucap Muradi saat memberikan paparan pada webinar Indonesian Politics Research and Consulting kolaborasi dengan HMPSIpol UNPAD bertemakan Kebocoran Data dan Urgensi OmnibusLaw Elektronik, Selasa (14/9).
Muradi juga menyoroti soal fungsi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang tidak memiliki kekuatan payung hukum.
Kondisi tersebut membuat tindakan-tindakan yang diambil BSSN tumpul dan cenderung kerja normatif.
Kondisi itu juga kata Muradi, menyebabkan rekomendasi-rekomendasi yang dibuat oleh BSSN tidak menjadi solusi atas keamanan siber di Indonesia.
“Maka dari itu perlu adanya legal standing yang jelas atas Lembaga BSSN. Pemerintah sebagai fasilitator dan perlindungan harus dipertajam lagi mengingat tantangan yang sangat banyak dan kesiapan SDM yang belum mumpuni. BSSN dengan prinsip kolaborasi, keberpihakan dan adaptif berusaha menjalankan strategi nasional berupa regulasi, tata kelola, kesiapsiagaan, industri keamanan siber, diplomasi siber, dan budaya keamanan siber,”ucap Muradi.
Di ruang yang sama Peneliti muda Indonesian Politics Research and Consulting (IPRC) Indra Purnama membeberkan motif ancaman digital siber antara lain ekonomi, politik, hingga eksistensi.
“Bakal memunculkan potensi masalah seperti peretasan, kebocoran data, berita hoax, serangan siber, dan transaksi illegal memunculkan pertanyaan sudah sesiap apa Indonesia memasuki era siber saat ini,”ungkap dia.
Indra mengungkapkan, adanya internet, pola-pola kegiatan tak lagi seperti dulu yang mengandalkan administrasi serba tradisional.
Dengan internet, pergeseran hampir merambah ke semua sektor, mulai ekonomi, budaya, politik, sosial, agama, bahkan seksualita.
“Pola kegiatan masyarakat berubah, ekonomi sosial, budaya, politik, agama dan seksual. Aktivitas ekonomi misalnya, jual beli lebih mudah. Pola politik, seperti pilpres, komununikasi politik tak lagi harus tatap muka, bisa dengan daring, video, serangan kampanye politik, dan pengaruhnya sangat besar,” jelasnya.
Menurut Indra, dengan kondisi saat ini, masalah siber tampaknya lebih sering terjadi yang berdampak pada kerugian individu maupuan instansi.
“Positif, kecepatan, jarak, kemudahan, hampir semua tersedia di internet, Di sisi lain, negatifnya, pergeseran budaya, penumpukan informasi membuat susah membedakan informasi benar dan salah,” ujarnya.
“Kebocoran data adalah bagian kecilnya, Permasalah siber: hoaks, pencurian data, cyber bullying, hate speech, pencemaran nama baik, propaganda, pornografi dan lain-lain,” tambahnya.
Titik permasalah siber di Indonesia dinilai bermuara pada tidak adanya aturan atau legal standing yang jelas.
Sehingga, lanjut dia, pemerintah perlu membuat suatu lembaga khusus terpusat yang berkonsentrasi mengawasi, mengatur, mensosialiasaikan bahkan bertindak dalam dunia siber.
“Belum ada payung hukum untuk permasalah siber saat ini, UU ITE tidak mampu menanggulangi permasalahan siber saat ini. Harus ada payung hukum, sdm, sosialisasi, literasi digital, kelembagaan BSDN hanya Perpres 28 tahun 2021, perlu penguatan,” paparnya.
Anggota Komisi I DPR RI M. Farhan yang juga sebagai pembicara dalam webinar menyatakan, Undang-Undang yang memiliki keterkaitan dengan keamanan siber seperti RUU PDP seharusnya tidak hilang dari Prolegnas.
Karena melihat urgensi RUU tersebut dapat menjadi solusi dari persoalan pencurian data pribadi sebagai ancaman keamanan siber di Indonesia.
“Bahaya jika undang-undang yang memiliki keterkaitan dengan keamanan siber hilang dari prolegnas,”ujar Farhan.
Farhan juga menyoroti pentingnya perlindungan keamanan data pribadi.
Pasalnya, data pribadi menurut Farhan tidak terlepas dari kepentingan bisnis, ekonomi, kepentingan layanan publik dan politik.
“Perlindungan data pribadi menjadi satu hal yang sangat penting sebagai satu dari sekian banyak elemen dalam ekosistem digital, yang perlu mendapatkan perlindungan. Namun bicara ekosistem digital di Indonesia semakin hari tumbuh dengan cepat bahkan saya melihatnya seperti semak belukar, yang harus dijaga sebuah pagar yang keamanan dan ketahanannya kuat yang harus dibangun oleh BSSN,”jelas Farhan.
Sementara Juru Bicara BSSN Anton Setiawan membenarkan kondisi keamanan siber Indonesia yang rentan.
Menurutnya sebagai lembaga BSSN sudah menjalankan fungsi-fungsi pengawasannya, akan tetapi perlu juga diperkuat sebagai lembaga yang mampu juga melakukan penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
“Sehingga dapat bertindak secara cepat ketika ada permasalahan kemanan siber di Indonesia. Disusul beberapa waktu lalu muncul wacana omnibus law bidang elektronik yqng memiliki urgensi yaitu hadirnya BSSN sebagai koordinator, mencakup ancaman negara dan non Negara,”ucap dia.
Dengan adanya wacana omnibus law bidang elektronik menurut Anton, dapat menegaskan karakter instansi masing-masing.
Hal itu juga sebagai upaya paksa dalam melindungi warga negara, diplomasi siber, industri keamanan siber dan lainnya hingga mengambil tindakan adanya kejahatan siber.
Webinar yang berlangsung menghasilkan beberapa kesimpulan bersama dalam pendiskusian yang berjalan diantaranya ialah kewajiban negara dalam melindungi dan menjamin keamanan siber bagi seluruh lapisan masyarakat harus didasari pada beberapa hal, antara lain adalah:
1. Payung hukum (UU ITE, berkaitan dengan penanggulangan dan penyelesaian kasus)
2. SDM (membangun kesadaran masyarakat akan kepemilikan data pribadi)
3. Sosialisasi (kampanye digital keamanan siber)
4. Literasi digital (informasi digital sebagai sumber pengetahuan)
5. Kelembagaan (penguatan kemanan digital secara lembaga) (*)