Hari Disabilitas Internasional diperingati setiap tanggal 3 Desember untuk memberikan kesadaran kepada kita semua agar dapat terus melindungi dan memberikan dukungan kehangatan bagi para penyandang disabilitas dalam kesehariannya. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif. Maka dari itu, sebaiknya kita dapat memahami para penyandang disabilitas, dan membiarkan para disabilitas untuk bebas mengekspresikan bentuk komunikasinya dengan cara apapun.
Salah satu dari penyandang disabilitas adalah tuna rungu atau disfungsi pendengaran. Para tuna rungu ini umumnya disertai dengan disfungsi komunikasi atau ada hambatan untuk berkomunikasi baik secara interpersonal maupun secara pelafalan bahasa dan kata-kata. Sehingga para tuna rungu dan tuna wicara umumnya menggunakan bahasa isyarat untuk berekspresi atau berkomunikasi dengan orang lain. Para penyandang tuna rungu dan wicara tentu akan sangat antusias ketika ada orang yang dapat memahami atau dapat melakukan bahasa isyarat untuk bisa diajak berkomunikasi.
Namun, lain hal dengan Menteri Sosial Tri Rismaharini, dalam rangka peringatan Hari Disabilitas Internasional di salah satu Yayasan, beliau justru menyampaikan hal yang bertolak belakang dengan kondisi para penyandang disabilitas ini. Beliau memaksakan kemampuan para tuna rungu untuk dapat berbicara dan tidak menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Hal tersebut tuai banyak sorotan dan kritik dari berbagai pihak, terutama bagi mereka yang memiliki keluarga penyandang disabilitas. Mereka mengatakan bahwa penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi seperti tuna rungu akan sangat kesakitan ketika memaksakan diri untuk berbicara.
Pada salah satu komentar di YouTube Chanel yang membagikan video terkait kronologis tersebut, salah satu akun berkomentar, “Bu.. Saya juga Tuli, pernah dicurhatin sesama teman Tuli yang Ibunya menyuruh bicara.. Sampai sakit tenggorokannya.. ” Kemudian komentar yang lainnya, “Ibu, sebagai orangtua dari anak tuli, saya sangat sedih dan kecewa dengan sikap Ibu. Ibu sama sekali tidak tahu tentang kehidupan orang tuli. Tapi Ibu seakan-akan paling tahu dan paling benar. Andai Ibu tahu bagaimana perjuangan mengajarkan anak tuli dari lahir untuk bicara. Ibu pasti nyesel sama sikap Ibu tersebut. Salam hormat.”
Sejauh ini, Risma memberikan klarifikasi terhadap kritik dari banyak pihak dengan mengatakan, “Jadi itulah saya sampaikan saya ingin mengoptimalkan kemampuan dia kalau memang dia bisa bicara, itu pilihan setelah itu dia mau bicara atau tidak. Tapi bagi saya saat dia kondisi terdesak dia bisa melakukan sesuatu untuk pengamanan dirinya itu yang paling penting bagi saya.”
Meskipun demikian, kita sebagai manusia yang diberikan hati untuk merasakan empati, dan mengerti bahwa setiap tumbuh kembang anak akan berbeda-beda. Penstimulasian yang dipaksakan juga akan berakibat pada trauma dan penarikan diri dari lingkungannya. Hal tersebut tentu akan berakibat sangat fatal sehingga kita perlu memahami bukan dari sekadar perkembangan dan kemampuan anak, namun juga dari latar belakang, emosi, karakter dan lainnya untuk bisa menjalin komunikasi yang baik dengan para disabilitas. Kita harus mampu mengetahui cara berkomunikasi apa yang ingin ia pilih, bukan memilih atau menentukan cara komunikasi yang harus ia lakukan (nida).