PORTAL JABAR,- Dalam menjalani kehidupan ini, sejatinya ada rintangan dan halangan yang akan mengiringi tiap manusia yang ada di muka bumi ini. Setiap rintangan yang dihadapi memiliki tingkatannya tersendiri yang perlu dilalui, ada yang terasa mudah hingga ke rintangan yang terasa sulit. Salah satu rintangan yang sulit dilalui ialah proses meminta maaf dan memaafkan. Beberapa orang merasa sulit untuk meminta maaf dan memberi maaf. Seperti contohnya ketika seseorang memberikan kepercayaannya kepada orang lain kemudian orang tersebut tidak menghargai kepercayaan yang telah diberikan.
Sangat wajar untuk merasa marah, kecewa, sedih, atau sakit hati. Namun akan menjadi tidak baik apabila memendam emosi negatif tersebut dalam jangka panjang yang nantinya akan menimbulkan perasaan kebencian hingga balas dendam. Terutama pada kesehatan mental orang tersebut, menyimpan dendam dapat berdampak negatif. Karena mereka terus mengingat hal-hal yang menyikiti hati orang tersebut, Orang yang berdendam akan mengalami emosi atau perasaan yang buruk, yang dapat meningkatkan stres dan menyebabkan kecemasan dan frustrasi. Disamping itu, Hal ini akan berdampak pada kesehatan fisik individu tersebut. (Detik.com, 2015)
Dalam proses memaafkan, tentu setiap orang akan berbeda-beda perjalanan yang ditempuhnya untuk mencapai tujuan utama. Kebanyakan orang selalu mengatakan “maafkanlah, tidak baik memendam perasaan benci atau dendam terlalu lama”, akan tetapi pada prakteknya untuk memaafkan perlakuan orang yang sudah menyakiti hati apalagi sampai mengkhianati kepercayaan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada pergulatan batin yang harus dilalui, ada pertengkaran pikiran yang harus diselesaikan, ada diri yang harus diyakini dan itu semua memerlukan waktu untuk hingga bisa berada di tahap memaafkan. Percayalah memaafkan tidak semudah yang dibayangkan, begitu kata orang-orang.
McCaullough (2000) menggambarkan sikap memaafkan sebagai perubahan berbagai perilaku dengan meningkatkan keinginan atau keinginan untuk berdamai dengan pelaku kekerasan dan mengurangi keinginan untuk membalas dendam. Forgiveness menurut Wardhati dan Faturochman (2004), didefinisikan sebagai upaya untuk melepaskan semua keinginan pembalasan dendam dan sakit hati yang bersifat pribadi terhadap pihak yang bersalah atau orang yang menyakiti dan kemudian berusaha untuk membina hubungan kembali. Menurut McCullough (2000), terdapat tiga aspek dalam forgiveness, diantaranya: (a) Avoidance Motivation, penurunan keinginan untuk menghindari interaksi psikologis dan pribadi dengan pelaku, (b) Revenge Motivation, menurunnya keinginan untuk membalas dendam. (c) Beneviolence Motivation, berbuat baik kepada pelaku merupakan salah satu tandanya.
Apabila individu dapat merasakan kebahagiaan, mereka dapat merasakannya dan menikmatinya. Jika seseorang tidak dapat berterima kasih dan memaafkan, mereka tidak akan merasakan kebahagiaan. Jika seseorang dapat memaafkan seseorang yang merasa bersalah padanya, terlepas dari rasa sakitnya, dia akan merasa lebih tenang dan bahagia. Diponegoro dan Mulyono (2015) mendukung hal ini dengan menyatakan bahwa forgiveness adalah salah satu komponen kebahagiaan. Selanjutnya seperti yang ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Juwita dan Kustanti (2020), yang menggunakan analisis regresi sederhana menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara forgiveness dan kesejahteraan psikologis. Forgiveness berkorelasi positif dengan kesejahteraan psikologis.
Sifat memaafkan adalah sifat para ahli surga, dan pahalanya tidak terbatas. Allah Ta’ala sangat mencintai orang yang melakukannya. Dalam Q.S Asy-Syura Ayat 43, Allah berfirman:
وَلَمَنۡ صَبَرَ وَغَفَرَ اِنَّ ذٰلِكَ لَمِنۡ عَزۡمِ الۡاُمُوۡرِ
Artinya: “Tetapi barangsiapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia”. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwasanya orang-orang yang sabar dan memaafkan perbuatan jahat yang dilakukan orang lain atas dirinya, sekalipun mereka bisa membalasnya, sesungguhnya mereka telah melakukan tindakan yang besar dan berhak atas pahala yang lebih besar.
Forgiveness merupakan peran utama dalam kebahagiaan seseorang. Kehidupan yang lebih baik dapat dicapai dengan meningkatkan forgiveness. Kebahagian yang dimiliki seseorang sebanding dengan forgiveness yang mereka miliki. Sebaliknya, kemampuan seseorang untuk mencapai kebahagiaan berkorelasi negatif dengan tingkat forgivenessnya yang lebih rendah. Tekanan darah, denyut jantung, dan optimisme orang yang memaafkan lebih rendah daripada orang yang tidak memaafkan, menurut Enright, Freedman, dan Rique (dalam Shekhar, Jamwal, & Sharma, 2014).
Memaafkan memungkinkan kita untuk mengalami emosi yang positif karena kita tidak lagi mengingat hal-hal yang membuat sakit hati, melepaskan perasaan negatif, menenangkan hati, meminimalisir rasa marah, tidak mengenal yang namanya sakit hati, dan tentunya menghilangkan rasa dendam yang pernah ada dalam lubuk hati kita (Nasrin, 2018). Berdzikir kepada Allah SWT dapat membantu seseorang mendapatkan ketenangan batin, dan jika seseorang secara teratur melakukannya akan membuat seseorang merasa dekat dengan Allah dan aman di mana pun mereka berada. Dzikir juga dapat memberikan kemuliaan hati bagi mereka yang melakukannya. Maka dari itu, marilah kita menanamkan forgiveness atau sikap memaafkan dalam diri agar senantiasa kehidupan yang kita jalani dipenuhi dengan kebahagiaan dan keberkahan baik di dunia maupun di akhirat.
Penulis: Dhea Aprilina Dya
REFERENSI
- Emil, E. M. (2021). Pemaafan dan Kesejahteraan Psikologis Individu. Indonesian Journal of Islamic Counseling, 3, 70–76. http://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/ijic/article/view/4846%0Ahttp://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/ijic/article/download/4846/1404
- Nihayah, U., Ade Putri, S., & Hidayat, R. (2021). Konsep Memaafkan dalam Psikologi Positif. Indonesian Journal of Counseling and Development, 3(2), 108–119. https://doi.org/10.32939/ijcd.v3i2.1031
- Rienneke, T. C., & Setianingrum, M. E. (2018). Hubungan antara Forgiveness dengan Kebahagiaan Pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan. Persona:Jurnal Psikologi Indonesia, 7(1), 18–31. https://doi.org/10.30996/persona.v7i1.1339