Pemaafan/forgiveness adalah serangkaian perubahan motivasi ketika seseorang menjadi kurang termotivasi untuk membalas dendam serta menghindar terhadap pelaku, dan semakin termotivasi oleh niat baik juga keinginan untuk berdamai dengan pelaku meskipun telah dirugikan (McCullough, 2008). Kj (2018) mengungkapkan bahwa terdapat 3 konteks dalam pemaafan, yaitu:
- Memaafkan diri sendiri
DeShea (dalam Kj, 2018) mengungkapkan bahwa memaafkan diri merupakan proses melepaskan kebencian terhadap diri yang disebabkan pelanggaran dan kesalahan yang diperbuat. Individu bisa merasa marah terhadap diri mereka ketika perilaku verbal dan nonverbal menyebabkan rasa kekalahan dan perilaku yang tidak bisa diperbaiki.
- Memaafkan orang lain
Hal ini terjadi ketika berubahnya hubungan antara 2 atau lebih individu yang disebabkan oleh pelanggaran verbal, perilaku, atau emosional. Nilai hubungan yang dirasakan dan intensitas viktimisasi (korban) merupakan faktor yang mempengaruhi interpersonal forgiveness.
- Memaafkan situasi
Sebuah situasi yang menyebabkan individu merasa marah dan hilang harapan membuat individu menjadi kehilangan perasaan positif terhadap dunia luar. Oleh karena itu, individu harus bisa memaafkan situasi yang membuatnya menderita agar dapat terus berkembang dalam berbagai situasi dan tempat.
Enright (2001) menyampaikan bahwa terdapat 4 tahap dalam forgiveness, yaitu:
- Fase Uncovering terjadi ketika individu merasakan kebencian dan perasaan tersakiti.
- Fase Decision to Forgive terjadi ketika individu mulai berpikir mengenai kemungkinan untuk memaafkan.
- Fase Work terjadi ketika individu melakukan tindakan untuk memaafkan orang yang telah menyakiti.
- Fase Deepening terjadi ketika individu mengalami internalisasi makna dari proses memaafkan.
Worthington (dalam Kj, 2018)mengajukan metode REACH (Recall, Empathy, Altruism, Commit, and Hold) sebagai model forgiveness. Metode ini dilakukan dengan mengingat pelanggaran yang dilakukan, menumbuhkan empati antara korban dan pelanggar, mengajukan permintaan maaf satu sama lain, memulai komitmen secara verbal untuk memaafkan, dan mempertahankan forgiveness.
Istilah kesejahteraan subjektif atau subjective well-being berkaitan dengan seberapa puas dan bahagia orang melihat kehidupan mereka sendiri, termasuk penilaian kognitif dan afektif kebahagiaan dan emosi positif dan negatif (Diener, 2000). Kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh hal-hal seperti fleksibilitas tujuan, nilai dan tujuan, dukungan sosial, dan adaptasi individu terhadap keadaan. Meskipun orang memiliki kecenderungan untuk beradaptasi dengan beberapa situasi, mereka tidak sepenuhnya terbiasa dengan semua situasi, dan beberapa variabel berdampak pada kesejahteraan subjektif seseorang.
Kesejahteraan memiliki peran penting dalam kehidupan individu karena terkait erat dengan berbagai aspek fungsi dan kualitas hidup mereka secara keseluruhan (Diener, 2000), yaitu:
- Kesejahteraan berkaitan dengan kesehatan fisik. Individu dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi cenderung memiliki hasil kesehatan fisik yang lebih baik, termasuk tingkat penyakit kronis yang lebih rendah, pemulihan yang lebih cepat dari penyakit, dan peningkatan umur panjang.
- Kesejahteraan berkaitan dengan kesehatan mental dan fungsi psikologis. Individu dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi cenderung tidak mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Mereka juga menunjukkan tingkat ketahanan, keterampilan mengatasi, dan kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.
- Kesejahteraan berkaitan dengan hubungan dan fungsi sosial. Individu dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi cenderung memiliki hubungan yang lebih memuaskan dan mendukung, mengalami keterhubungan sosial yang lebih besar, dan terlibat dalam perilaku yang lebih prososial.
- Kesejahteraan berkaitan dengan produktivitas dan kesuksesan di berbagai bidang kehidupan. Individu dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi cenderung berkinerja baik di tempat kerja, menunjukkan tingkat kreativitas dan inovasi yang lebih tinggi, dan memiliki kepuasan kerja yang lebih baik.
Proses pemaafan melibatkan komponen rasional dan emosional, area otak yang berhubungan dengan pemikiran rasional akan mengalami penurunan dan akan terjadi peningkatan area emosional saat menghadapi dilema pengampunan (Worthington dkk., 2007). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Worthington dkk. (2007) ditemukan bahwa memaafkan dikaitkan dengan berbagai manfaat kesehatan, termasuk peningkatan kesehatan mental, pengurangan stress, dan peningkatan kesehatan jantung. Forgiveness telah ditemukan untuk mempromosikan strategi koping yang lebih baik, ketahanan, dan pengaturan emosi adaptif, yang mengarah pada hasil kesehatan mental yang lebih baik serta memiliki efek positif pada hubungan interpersonal, meningkatkan dukungan sosial, serta mengurangi konflik dan permusuhan (Long dkk., 2020). Lebih lanjut Toussaint dan William (dalam Worthington dkk., 2007) mengungkapkan bahwa pengampunan telah ditemukan memiliki efek positif pada kesehatan mental. Hal terkait dengan tingkat depresi, kecemasan, dan stres psikologis yang lebih rendah. Pengampunan juga berkontribusi pada pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan rasa kedamaian batin, yang merupakan komponen penting dari kesejahteraan secara keseluruhan (Long dkk., 2020). Individu yang lebih toleran cenderung mengalami tingkat kesejahteraan subjektif dan kepuasan hidup yang lebih tinggi. Selain itu, pemaafan dikaitkan dengan keterampilan koping yang lebih baik dan ketahanan yang lebih baik terhadap kesulitan, yang secara keseluruhan dapat berkontribusi pada kesehatan psikologis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap memaafkan berkaitan dengan kesehatan mental dan kesejahteraan sosial yang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan individu serta meningkatkan hubungan interpersonal dalam meningkatkan kesehatan dan kebahagiaan secara keseluruhan.
PENULIS: Vania Adinda Deany
Referensi:
- Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55(1), 34–43. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.34
- Enright, R. (2001). Forgiveness is a choice. American Psychology Association.
Kj, L. (2018). Forgiveness: Definitions, Perspectives, Contexts and Correlates. Journal of Psychology & Psychotherapy, 08(03). https://doi.org/10.4172/2161-0487.1000342 - Long, K. N. G., Worthington, E. L., VanderWeele, T. J., & Chen, Y. (2020). Forgiveness of others and subsequent health and well-being in mid-life: A longitudinal study on female nurses. BMC Psychology, 8(1), 104. https://doi.org/10.1186/s40359-020-00470-w
- McCullough, M. (2008). Beyond revenge: The evolution of forgiveness instinct. Jossey-Bass.
- Worthington, E. L., Witvliet, C. V. O., Pietrini, P., & Miller, A. J. (2007). Forgiveness, Health, and Well-Being: A Review of Evidence for Emotional Versus Decisional Forgiveness, Dispositional Forgivingness, and Reduced Unforgiveness. Journal of Behavioral Medicine, 30(4), 291–302. https://doi.org/10.1007/s10865-007-9105-8