PORTAL JABAR,-Setiap semester memiliki tantangan tersendiri bagi mahasiswa. Tugas yang dirasa sulit dengan batas waktu pengumpulan yang berdekatan atau bahkan bersamaan menjadi salah satu dari beberapa tantangan yang dihadapi mahasiswa. Hal itu dapat menjadi faktor pemicu stres bagi sebagian besar mahasiswa. Faktor lain yang mungkin menjadi penyebab stres pada mahasiswa adalah transisi antara masa remaja dengan masa dewasa. Di mana tugas perkembangan berubah, tuntutan dan tanggung jawab baru pun muncul. Belum lagi jika mahasiwa tersebut memiliki masalah lain seperti masalah dengan keluarga, masalah dengan teman, masalah keuangan, masalah dengan pekerjaan bagi mahasiswa yang kuliah sambil bekerja, masalah kesehatan fisik, masalah kesehatan mental, dan lain-lain.
Dampak yang biasanya dialami sebagian mahasiswa ketika mengalami stres akibat perkuliahan diantaranya adalah gangguan tidur atau insomnia, masalah kesehatan mental, kecenderungan emosi negatif yang tinggi, makan tidak teratur sehingga dapat menimbulkan penyakit lambung, tipes, dan lain sebagainya. Untuk mencegah atau mengatasi masalah-masalah tersebut, maka mahasiswa harus memiliki resiliensi yang tinggi agar dapat adaptif, menjalankan kuliah dengan baik, serta tidak terjerumus kepada hal negatif yang dikarenakan salah mengambil langkah dalam menghadapi stres tersebut. Karena jika mahasiswa tidak dapat mengelola stres tersebut dan terkena dampak negatif dari stres, kegiatan perkuliahan pun akan terhambat.
Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan, beradaptasi terhadap sesuatu yang menekan, mampu mengatasi dan melalui, serta mampu untuk pulih kembali dari keterpurukan. Berdasarkan aspek resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002), dalam mengatasi stres, mahasiswa harus memiliki regulasi emosi agar tetap stabil di bawah tekanan, melakukan pengendalian impuls agar tidak mendahulukan hal yang menjadi kesenangan bagi mahasiswa namun menjadikannya penunda prioritas yang lebih penting sehingga tugas menjadi terhambat, bersikap optimis namun juga realistis dalam membuat perencanaan dan menghadapi tantangan, menganalisis penyebab yang menjadi masalah, memiliki sikap empati sehingga dapat berhubungan baik dengan orang lain, memiliki efikasi diri dalam menyelesaikan masalah, mencoba hal-hal baru yang sebelumnya tidak berani dilakukan dan meningkatkan aspek positif.
Untuk melatih dan meningkatkan resiliensi, berdasarkna penelitian oleh Reivich dan Shatte (2002), mahasiswa harus menerapkan pola pikir dan kebiasaan, di antaranya:
- Mengubah persepsi tentang kegagalan
Mahasiswa harus meyakinkan diri bahwa kegagalan merupakan suatu hal yang wajar. Coba untuk melihat sisi positif dari kegagalan tersebut. Misalnya, dengan kegagalan tersebut kita menjadi belajar dari kesalahan dan menjadi lebih matang, juga dapat menghindari untuk melakukan kesalahan yang sama.
- Membangun rasa percaya diri
Mahasiwa harus memiliki rasa percaya diri bahwa segala usaha yang dilakukan sekarang akan membuahkan hasil yang diinginkan di masa depan. Dengan rasa percaya diri, kita akan yakin bahwa kita akan berhasil sehingga kita dapat lebih fokus melakukan hal-hal yang harus dilakukan dan bersemangat dalam menjalaninya.
- Belajar relaks
Mahasiswa harus belajar untuk relaks agar dapat dengan tenang menghadapi tantangan-tantangan yang datang. Cara untuk belajar relaks di antaranya adalah dengan meditasi, olahraga, dan tidur yang cukup.
- Mengontrol respons diri
Mahasiswa harus dapat memilih bagaimana untuk bereaksi. Untuk meningkatkan resiliensi, kita dapat belajar bereaksi dalam menghadapi masalah dan tantangan dengan tenang.
- Memiliki Sikap Fleksibel
Kita pasti tau bahwa tidak semua hal dapat berjalan sesuai rencana dan tidak segala hal berjalan dengan pola yang sama. Banyak hal yang berubah tanpa bisa kita kontrol. Maka dari itu, kita harus bersikap fleksibel dengan segala keadaan. Kita harus menyesuaikan diri dengan perubahan dan mencari solusi dari perubahan tersebut.
Penulis: Adiba Novembia Hasanah
Referensi:
- Missasi, V., & Izzati, I. D. C. (2019, November). Faktor–faktor yang mempengaruhi resiliensi. In Prosiding Seminar Nasional Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (pp. 433-441).