PORTAL JABAR,- Bagaimana kita menyambut rasa sepi yang singgah dalam relung hati? Sepi, sendiri, dan sunyi cenderung hanya dimaknai sebagai ruang kosong yang penuh kepungan rasa tidak nyaman. Kehadirannya jarang dikaitkan dengan kebahagiaan dan emosi positif lainnya. Bahkan sepi kerap dianggap sebagai “teman baik” kesedihan, rasa hampa, tak berdaya, dan putus asa. Setiap orang pernah mengalami sepi, tapi justru tak banyak dari mereka yang mau mengakui saat rasa itu muncul.
Lalu, untuk apa sepi hadir? Apakah sepi, sunyi, dan sendiri akan selalu bermuara pada rasa kesepian (yang identik dengan duka) ? Bisakah sepi hadir sebagai negasi dari rasa sengsara?
Sepi tak selalu kesepian. Saat sepi hadir, kita sering kali lupa bahwa kita punya pilihan dan kontrol untuk merespons sepi yang mengunjungi; terlarut dalam kesepian (loneliness) yang menyesakkan dada atau dengan sadar mengambil kesempatan untuk mengasihi diri dalam kesendirian (solitude). Sepi dan kesendirian tak melulu berujung pada kesepian yang sarat akan kesedihan. Pun, sepi tak selalu membuat batin keruh, tapi bisa menjadi sebuah kesempatan untuk bertumbuh.
Memahami Diri
Saat berinteraksi dengan orang lain, sering kali kita mengabaikan suara yang paling penting dalam hidup kita, yaitu “suara hati kita”. Apa yang sebenarnya kita inginkan? (bukan yang orang lain inginkan). Apa yang sebetulnya membuat kita bahagia? Apa yang selama ini kita cari? Sepi membantu mengenali diri dan menumbuhkan rasa apresiasi terhadap diri.
Sepi membuat kita fokus dengan diri kita. Saat sendiri, pikiran kita terbebas dari spotlight effect (hal yang membuat kita cenderung khawatir dan melebih-lebihkan persepsi orang terhadap perilaku maupun penampilan kita. Pada momen ini, kita menjadi lebih berani menjadi diri sendiri.
Sepi layaknya sebuah cermin yang membuat kita melihat identitas diri yang sejati. Ini menjadi kesempatan untuk menyapa dan berbincang dengan diri. Mengenal dan menerima perasaan yang hadir. Melihat kembali hal dan peristiwa, lalu memaknainya dari kacamata yang berbeda. Artinya, sepi memberi ruang untuk menyaksikan moment of truth, (menvelami kembali apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup kita). Momen ini bisa untuk menumbuhkan harapan, menggali hal positif dalam diri maupun penghargaan terhadap diri. serta membuat kita menemukan pelajaran hidup.
Sepi yang Mengasah Empati
Sepi tak melulu tentang isolasi dan tentang diri sendiri. Uniknya, orang-orang yang sering kali merasa kesepian, justru lebih peka dan berempati pada mereka yang merasakan penderitaan sosial. Sepi mengasah sensitivitas manusia dengan meningkatkan perhatian dan ketajaman pengamatan. Ruang kesendirian memberi kesempatan untuk mengalami sendiri bagaimana rasanya sejenak teralienasi dari kehidupan sosial.
Mereka yang akrab dengan sepi lebih berempati dengan orang lain karena menemukan diri mereka pernah dalam situasi yang sama. Sebagai makhluk sosial, kita cenderung ingin menjadi bagian dari kelompok yang sesuai dengan diri kita. Selain itu, kita juga memiliki kecenderungan untuk mengategorikan orang lain ke dalam kelompok sosial. Misalnya, kita orang suku A dan mereka orang suku B. Adanya pengelompokan si kaya dan si miskin, si putih dan si hitam, dan lainnya. Hal ini menimbulkan “Us vs Them Mindset” yang berpotensi melahirkan pemikiran irasional dan bias prasangka yang dapat mengikis empati.
Saat sibuk memberi label dan mengkotak-kotakan diri maupun orang lain ke dalam kelompok-kelompok, kita cenderung mengutamakan penyesuaian kelompok dibanding memperhatikan keunikan setiap individu. Dalam situasi ini, sepi berperan untuk mengubah “Us vs Them Mindset” menjadi “We Mindset”. Sepi menumbuhkan self-awareness atau kesadaran diri. Kondisi ini membantu kita menyadari bahwa setiap individu layak dihormati dan setara (terlepas dari siapa dia dan dari mana dia berasal).
Seperti kata pepatah “Tak selamanya mendung itu hujan”, begitu juga dengan sepi yang tak selalu membawa duka.
Nyatanya, sepi yang menghampiri tidak selalu berniat untuk menyakiti dan menorehkan luka. Kadang dia datang bersama “Si Baik” yang juga memberi makna. Satu hal yang baiknya tidak terlupa: Sepi adalah perasaan natural untuk melengkapi elemen rasa kita sebagai seorang manusia. Merasa sepi adalah perasaan yang manusiawi, sama seperti saat kita merasa haus dan lapar. Jika hari ini kita masih menghardik sepi sebagai tamu yang tak diundang, maka tidak ada salahnya kita mencoba berdamai dengan sepi. Ingat, kita punya pilihan untuk berteman dengan sepi atau hanyut dalam rasa haus koneksi yang berpotensi menyisakan duka di hati.
Kita juga butuh sepi. Saat tidak terkoneksi dengan dunia luar, bukan berarti kita sedang tersekap di ruang hampa tanpa bisa melihat apa-apa. Sepi adalah rumah tempat kita berjumpa dengan sahabat sejati yang selalu menemani dan membersamai proses kita, yaitu diri kita sendiri. Ruang sepi juga membuka mata kita untuk melihat silver lining dari setiap ketidaksempurnaan dalam hidup. Rayakan sepi dengan bertemu hal-hal baik yang turut datang bersamanya.
Selamat berpetualang dalam sepi!
PENULIS: Annisa Nur Rodja
Referensi
- Bevin, Sarah J. (2011). Psychology of Loneliness. New York: Nova Science Publishers. Hlm. 78.
- Lia, N. dan M. Ofra. (2022). “The Wilderness Solo Experience: A Unique Practice of Silence and Solitude for Personal Growth”. Frontiers in Psychology, 11, 2303.