PORTALJABAR, JAKARTA – Pemerintah memberi sinyal kuat perubahan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro menjadi PPKM mikro darurat, sejalan dengan lonjakan kasus covid-19.
“Saat ini sedang diformulasikan tindakan pengetatan yang akan diambil. Pengumuman resmi akan disampaikan pemerintah,” ungkap Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi dalam keterangan resmi, Selasa (29/6).
Ia menuturkan Presiden Joko Widodo telah menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk memimpin PPKM mikro darurat secara nasional. Pengetatan PPKM mikro akan berlaku di Pulau Jawa dan Bali.
“Betul, Menko Maritim dan Investasi telah ditunjuk oleh Bapak Presiden Jokowi sebagai Koordinator PPKM Darurat untuk Pulau Jawa dan Bali,” imbuhnya.
PPKM mikro darurat tentunya memiliki konsekuensi terhadap pertumbuhan ekonomi lantaran aktivitas semakin terbatas. Khususnya, pada pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2021 mendatang, mengingat manuver kebijakan itu akan berlaku pada permulaan kuartal III 2021.
Direktur Riset Core Indonesia Pieter Abdullah memprediksi skenario terburuk adalah pertumbuhan ekonomi periode Juli-September 2021 masih terpuruk pada posisi minus bila skema PPKM mikro darurat diberlakukan. Kondisinya persis seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 2020 lalu.
Kala itu, PSBB berlangsung selama April 2020 hingga Juni 2020. Selama PSBB, hanya 11 sektor usaha yang beroperasi, antara lain, kesehatan, pangan, komunikasi dan teknologi informasi, dan logistik. Pusat perbelanjaan terpaksa tutup kecuali untuk gerai kesehatan dan ritel modern yang menjual kebutuhan pokok masyarakat.
Kondisi ini patut disayangkan, sebab Indonesia sudah mengalami pemulihan ekonomi pada April-Mei 2021. Namun, memasuki Juni 2021, kasus covid-19 bertambah sehingga mengganggu momentum pemulihan ekonomi lebih lanjut.
Akibatnya, Piter memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2021 hanya 3% – 4%, lebih rendah dari target pemerintah, yakni 7,1% – 8,3%.
“Kalau hitungan saya benar, 3% – 4% di kuartal II 2021, lalu turun lagi di kuartal III 2021. Kalau ini berlangsung lama, pengetatan PPKM-nya, (pertumbuhan ekonomi) turun tinggal 1%, ini moderate scenario,” imbuh Piter kepada awak media, Rabu (30/6).
“Kalau seandainya, upaya kita dengan PPKM tidak berhasil, terjadi lonjakan, dan memaksa pemerintah mengambil langkah lebih drastis PPKM darurat, tutupnya 3 bulan, negatif lagi dia (pertumbuhan ekonomi),” lanjut dia.
Pun begitu, ia meyakini kejatuhan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2021 mendatang tidak sedalam kuartal II 2020. Pasalnya, dasar angka perhitungan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 lalu sudah rendah, yaitu minus 3,49% (yoy).
Menurutnya, ancaman kontraksi pertumbuhan ekonomi dipicu oleh tekanan konsumsi masyarakat selama PPKM mikro darurat. Berdasarkan informasi sementara, salah satu poin aturan PPKM mikro darurat adalah pembatasan operasional mal dan restoran.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Ganip Warsito menjelaskan PPKM mikro darurat adalah pengurangan jam operasional mal atau pusat perbelanjaan hingga pukul 17.00 WIB dan restoran hanya diizinkan untuk layanan take away atau bawa pulang pesanan dibatasi sampai pukul 20.00 WIB.
Padahal, menurut Piter, mal dan restoran merupakan garda terdepan konsumsi masyarakat. Sementara, komponen konsumsi rumah tangga memiliki sumbangan paling besar pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,9% pada kuartal I 2021 lalu.
Lewat pengetatan PPKM, ia memprediksi omzet mal dan restoran semakin tertekan hingga hanya tersisa 10%, bahkan bisa lebih rendah dari angka tersebut.
“Kontribusi konsumsi pada pertumbuhan ekonomi paling besar, kalau orang tidak mau belanja, ya konsumsi pasti drop, kalau konsumsi drop dengan kontribusi hampir 60% pada pertumbuhan ekonomi, maka 60% pertumbuhan ekonomi langsung turun,” imbuhnya.
Karenanya, ia berharap pemerintah mempertimbangkan matang-matang pengetatan PPKM mikro darurat. Ia khawatir pemerintah nantinya kewalahan menghidupkan kembali perekonomian yang sudah mati suri alias shutdown selama PPKM mikro darurat.
“Tolong dipertimbangkan lagi dengan masak-masak, karena begitu dilakukan dan shutdown ekonomi, maka menghidupkan ekonomi tidak gampang,” tegasnya.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal memiliki pandangan berbeda. Ia justru melihat peluang penghematan ongkos ekonomi dengan pemberlakuan PPKM mikro darurat, asalkan kebijakan itu efektif menekan kasus covid-19.
Hitungannya, skenario pengetatan PPKM mikro di DKI Jakarta bisa menghilangkan nilai ekonomi Rp3 triliun – Rp6 triliun/hari.
Hilangnya nilai ekonomi bergantung pada skenario pengetatan PPKM mikro, mulai dari skenario ringan, 25% perekonomian DKI Jakarta terhenti selama 14 hari hingga 100% mandek.
“Perhitungan untuk skenario pembatasan, Jakarta punya potensi kehilangan sampai Rp6 triliun/hari, tergantung derajat pembatasan. Jika ringan, maka paling tidak Rp3 triliun/hari, perhitungan ini juga memperhitungkan dampak penggandanya,” terang dia.
Namun, ada pula keuntungan dari pengetatan PPKM mikro darurat ini. Apabila diasumsikan tingkat infeksi kembali ke posisi landai seperti sebelum terjadi lonjakan kasus pada Juni 2021, maka potensi penghematan ongkos ekonominya tembus Rp5 triliun-Rp7 triliun/hari.
Penghematan ini memperhitungkan biaya perawatan, biaya kehilangan produktivitas akibat penduduk usia produktif yang lumpuh, meninggal atau dirawat akibat covid-19, dan biaya lainnya.
“Maka potensi pembatasan sebenarnya bisa minimal impas atau menghemat sampai Rp1 triliun/hari,” paparnya.
Namun, mal dan restoran dipastikan jadi salah satu sektor yang paling terdampak lewat pengetatan PPKM mikro. Seperti disampaikan sebelumnya, salah satu revisi dalam aturan PPKM mikro darurat adalah pengurangan jam operasional mal atau pusat perbelanjaan hingga pukul 17.00 WIB.
Padahal, aturan sebelumnya mal yang berada di zona merah boleh beroperasi hingga pukul 20.00 WIB dengan jumlah pengunjung maksimal 25% dari kapasitas.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran Emil Arifin menyebut kebijakan ini akan membuat mal dan restoran kian terpuruk. Tanpa pengetatan saja, penjualan hanya tersisa di kisaran 5 persen-10 persen dibandingkan kondisi normal.
Bila pengetatan diberlakukan, ia memastikan penjualan merosot lebih tajam. “Kalau diterapkan tutup jam 17.00, take away 20.00, sama saja disuruh tutup. Jadi, kalau saya lebih baik mal dan restoran tutup, kita lockdown sama-sama, harus ada kepastian, jangan setengah-setengah. Ini seminggu, dua minggu, bikin orang ambruk, hancur,” lirihnya.
Ia mengaku lebih baik pemerintah tegas mengambil kebijakan lockdown total. Namun, selama lockdown tersebut, pemerintah memberi kompensasi kepada pengelola mal dan restoran, antara lain uang sewa ditanggung pemerintah, pembebasan pajak, dan sebagainya.
Ia menuturkan tekanan yang dialami sektor ritel tersebut berdampak luas hingga kepada vendor yang menyuplai restoran maupun produk di mal. Ujungnya, tekanan pada mal dan restoran juga berdampak pada petani, peternak, UMKM, dan pekerja. Kondisi ini tentunya mempengaruhi target pemulihan ekonomi.
“Akhirnya, rencana pemulihan ekonomi tidak akan tercapai sampai dua tahun berpotensi tidak akan tercapai,” katanya.
Menurutnya, kerugian yang dialami oleh pengusaha mal dan restoran tahun ini lebih besar dibandingkan tahun lalu. Pasalnya, tahun lalu pengusaha masih memiliki sejumlah dana cadangan yang bisa digunakan untuk bertahan selama pandemi.
Selain dana cadangan, pengusaha masih bisa mendapatkan fasilitas pendanaan dari perbankan. Namun, dana-dana tersebut sudah mulai menipis, bahkan sebagian pengusaha sudah kehabisan pendanaan. Belum lagi, sejumlah kewajiban kepada vendor maupun pekerja yang belum dilunasi baik gaji maupun THR.
Namun, ia mengaku belum bisa memprediksi potensi kerugian yang dialami oleh pengusaha mal dan restoran, khususnya yang tergabung dalam PHRI, akibat kebijakan pengetatan PPKM mikro tersebut. “Kalau dulu pernah dihitung (kerugian) secara kasar Rp3 triliun, sekarang belum kami hitung lagi,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menuturkan pengetatan PPKM mikro akan menggerus jumlah pengunjung. “Saat ini tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan turun menjadi 30 persen dan cenderung akan menurun terus,” ujarnya.
Ia memastikan rencana tersebut akan memukul dunia usaha. Namun, ia mengaku belum bisa menyampaikan potensi kerugian lantaran masih menunggu keputusan resmi dan detail ketentuan dari pemerintah.
“Pengelola pusat perbelanjaan mengimbau supaya rencana keputusan tersebut dipertimbangkan kembali secara mendalam, apakah memang benar-benar efektif untuk menekan jumlah kasus positif covid-19 yang sedang melonjak saat ini,” kata Alphonzus.
Terpisah, Kepala Peneliti Makro Ekonomi dan Keuangan Indef Rizal Taufikurahman mengamini bahwa PPKM mikro darurat akan menekan transaksi pada mal dan restoran. Implikasi penurunan transaksi di mal dan restoran berdampak pada sektor lainnya seperti yang disampaikan Emil.
“Tidak hanya perdagangan tapi juga kegiatan lain akan terpengaruh, karena sektor perdagangan ini memberikan pengaruh pada transaksi sektor yang lain, terutama sektor hulunya karena di belakang sektor perdagangan ada produsen dan industri yang notabene akan terpengaruh,” ucapnya.
Ujungnya, tekanan pada mal dan restoran ini akan kembali melemahkan daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Ia memprediksi kondisi saat ini bisa lebih buruk ketimbang tahun lalu.
“Bicara PPKM yang akan dilakukan dampaknya bukan pada kuartal II tapi kuartal III, dan model ini seperti ini tahun lalu. Kita bisa melihat dampak yang terjadi tahun lalu, apalagi kondisi saat ini pandemi covid-19 varian delta juga cukup berat, ini kondisi yang jauh lebih buruk dari kondisi pertengahan tahun lalu kisaran bulan yang sama,” tandasnya.