PORTALJABAR, JAKARTA – Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako jenis premium atau asal impor. Untuk produk daging, salah satu targetnya daging sapi Kobe serta Wagyu yang harganya berkali-kali lipat dari harga daging sapi biasa.
Rencana tersebut mendapat respons dari pelaku impor daging. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) Suhandri tidak mempermasalahkan rencana itu. Pasalnya, pajak yang mengarah kepada masyarakat kalangan menengah ke atas itu tidak akan berpengaruh signifikan pada daya beli.
“Pengaruhnya untuk pasar premium nggak ada, misalnya beli daging harga Rp.1,5 juta sampai Rp.2 juta, ditambah PPN 12% katakan Rp.160 ribu atau Rp.200 ribu lebih misalnya, buat pasar premium nggak begitu pengaruh. Nggak pernah konsumen kelas atas makan dia nanya harga berapa,” katanya.
Kondisi berbeda terjadi jika mengarah pada konsumen konsumen kelas bawah yang ada di pasar tradisional. Jika ada kenaikan harga daging sapi, misalnya dari Rp.130 ribu menjadi Rp.150 ribu/Kg akibat penerapan PPN pasti bakal menimbulkan gejolak di konsumen.
Namun, pengimpor daging sapi memerlukan petunjuk teknis yang jelas tentang pelaksanaannya di lapangan. Mulai dari harga berapa daging sapi terkena PPN, hingga impor dari negara mana saja yang bakal terkena PPN. Hal ini demi meminimalisir potensi kesalahan proses audit serta pengirimannya.
“Karena impor berhubungan dengan HS code dan harga. Berapa batasan harganya yang kena PPN, apa dibuat US$ 15, US$ 20, atau US$ 30, harus jelas. Kemudian contoh di Indonesia ada produsen sapi Wagyu, karena lokal apa dia nggak kena PPN. Ini kan harus jelas,” sebutnya.
Jenis sapi itu telah menjadi incaran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar terkena pajak. Daging sapi yang jenis premium juga akan dikenakan PPN. “Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa,” jelasnya.