PORTALJABAR – Kamu pernah mendengar tradisi grebeg di Yogyakarta? Atau malah pernah ikut merasakan kemeriahannya? Kota yang dijuluki sebagai kota pelajar ini memiliki tradisi yang unik yaitu grebeg. Tradisi ini diselenggarakan bertepatan dengan hari besar umat islam seperti Hari Raya Idul fitri, Hari Raya Idul Adha, dan Maulid Nabi Muhammad saw. Tradisi ini identik dengan adanya gunungan yang berisi makanan dari berbagai jenis hasil bumi dalam jumlah besar yang dibagikan kepada Masyarakat, Gamelan, perayaan sekaten, hingga arak-arakan prajurit kraton. Grebeg atau Garebeg berasal dari kata “gumbrebeg” yang artinya ramai atau riuh, yang kemudian diperluas menjadi keramaian atau perayaan. Dalam setahun keraton Yogyakarta mengadakan 3 grebeg yaitu grebeg syawal, grebeg maulud, dan grebeg besar.
Grebeg Syawal
Grebeg syawal adalah tradisi turun temurun sebagai wujud syukur ‘ngarso dalem’ berakhirnya puasa Ramadhan. Grebeg syawal dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri atau pada tanggal 1 Syawal, berupa upacara adat dilingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Gunungan akan dilepas mulai pada jam 10:00 WIB setelah salat Ied melalui proses iring-iringan prajurit keraton yang menjadi daya tarik tersendiri. Sebelum diberikan kepada masyarakat, gunungan tersebut akan diarak menuju halaman Masjid Agung (Masjid Gedhe) Kauman yang berjarak 1 km dari keraton.
Nah di masjid ini diadakan doa bersama yang dipimpin oleh Kyai Penghulu diikuti para Ulama Keraton beserta abdi dalem untuk kebaikan, kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan serta keselamatan bagi keluarga Sultan beserta rakyatnya dan nusa bangsa. Usai berdoa, gunungan akan dilepas dan diperebutkan oleh masyarakat dan inilah bagian yang paling seru dan menarik para turis untuk melihatnya. Masyarakat saling berebut untuk mendapatkan bagian sebanyak mungkin, namun pada hakikatnya bukan banyak makanan yang diperebutkan melainkan keberkahan serta manfaat dari hasil bumi tersebut. Gunungan yang diperebutkan bukan hanya satu melainkan ada 7, keraton mengeluarkan Tujuh gunungan, Lima untuk di masjid dan 2 di Pakualaman dan Kepatihan.
Grebeg Maulud
Seperti namanya, grebeg maulud diselenggarakan pada tanggal 12 Maulud (Rabiul Awal) yaitu bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Untuk memperingati hari tersebut. Uniknya pada grebeg maulud ini dari grebeg yang lain adalah dalam rangkaian acaranya ada namanya Sekaten yaitu pasar malam. Grebeg Maulud dilaksanakan secara berturut-turut selama 7 hari, diawali dengan parade para prajurit keraton yang menggunakan seragam lengkap beserta senjata khusus dan ada yang membawa alat musik. Setelah prajurit tersebut nanti akan disusul oleh rombongan prajurit yang menunggangi kuda dan dibelakangnya menyusul rombongan yang membawa Gunungan menuju Masjid Gedhe Kauman untuk didoakan bersama-sama. Setelah itu langsung diberikan dan diperebutkan oleh masyarakat.
Setiap grebeg maulud digelar ribuan orang tumpah ruah dihalaman masjid, mereka rela berdesak-desakan dibawah panasnya sinar matahari hanya untuk berebut mengambil bagian dari gunungan tersebut. Grebeg maulud ini merupakan bukti jitu nya cara wali sanga dalam menyiarkan agama islam di tanah jawa ini, atas gagasan Sunan Kalijaga, salah seorang anggota Wali Sanga yang dengan jeli memaksimalkan tradisi sebagai sarana untuk mengajak masyarakat memeluk Islam.
Sekaten dalam rangkaian grebeg maulud ini adalah sebagai wahana hiburan untuk masyarakat. Sekaten sendiri memiliki pemaknaan yang berbeda beda, dalam buku Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta (1991) yang ditulis oleh Supanto, sekaten berasal dari istilah Sakati, yakni nama dua perangkat gamelan keraton (hlm.37). dalam konteks islam Jawahir Thontowi melalui buku Apa istimewanya Yogya? (2007). Sekaten berasal dari kata Syahadatain yang dipraktikan Wali Sanga sebagai asal-usul proses pengislaman ditanah jawa (hlm.19).
Grebeg Besar
Grebeg besar diselenggarakan pada tanggal 10 Dzulhijjah bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Seperti grebeg yang lain prajurit keraton mengarak Lima gunungan ke Masjid Gedhe Kauman, kemudian dua lainnya ke kantor gubernur atau Kepatihan dan ke Puro Pakualaman, lalu didoakan dan diperebutkan oleh masyarakat. Namun pada tahun ini sepertinya keraton Yogyakarta meniadakan grebeg besar mengingat himbauan pemerintah tentang PPKM. Seperti halnya tahun lalu, grebeg besar Idul adha ditiadkan lantaran masih berlaku status tanggap darurat covid-19 di Yogyakarta. Meskipun tidak ada grebeg besar keraton Yogyakarta Hadiningrat tetap membagikan gunungan berupa rengginang yang dipimpin oleh putri sulung sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi. Pembagian ini sebagai wujud konsistensi Keraton Yogyakarta Hadiningrat untuk melestarikan tradisi meski masa pandemi. Pembagian tersebut sekaligus mendukung umbauan pemerintah kepada masyarakat untuk mencegah penularan Covid-19. Pastinya dalam pembagian tersebut
dilaksankan sesuai protokol kesehatan yang ketat.
Tradisi grebeg ini dimaknai sebagai bagian dari dakwah islam yang mengandung nilai-nilai pelestarian lingkungan. Keselarasan lingkungan didalamnya merupakan warisan Kanjeng Sunan Kalijaga, sehingga ziarah ke makam beliau menjadi salah satu serangkaian acara grebeg. Tradisi grebeg ini dianggap sebagai akulturasi budaya asli Indonesia dengan budaya pendatang yaitu Hindu dan Islam, hal ini terlihat pada puncak grebeg yaitu Gunungan.
Gunungan sendiri adalah warisan budaya Hindu dan oleh Sunan Kalijaga hal tersebut tidak dihilangkan. Beliau menjadikan gunungan tersebut bukan sebagai sesembahan kepada makhluk halus atau sejenisnya, akan tetapi sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT., Tradisi ini sangat dijaga kelestariannya oleh Keraton Ngayogyakarta Hadinigrat sampai masa kini. Dimasa wabah sedang menyerang seperti sekarang tentunya bukan berarti grebeg akan hilang namun keraton tetap melaksanakannya walaupun yang ikut serta hanya orang-orang keraton, sebuah konsistesnsi yang harus kita dukung. Tetap jaga kesehatan, patuhi protokol kesehatan supaya kita terhindar dari wabah dan selalu sehat dan aman.
Wallahu a’lam bis showab
Gunungan sendiri adalah warisan budaya Hindu dan oleh Sunan Kalijaga hal tersebut tidak dihilangkan. Beliau menjadikan gunungan tersebut bukan sebagai sesembahan kepada makhluk halus atau sejenisnya, akan tetapi sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT., Tradisi ini sangat dijaga kelestariannya oleh Keraton Ngayogyakarta Hadinigrat sampai masa kini. Dimasa wabah sedang menyerang seperti sekarang tentunya bukan berarti grebeg akan hilang namun keraton tetap melaksanakannya walaupun yang ikut serta hanya orang-orang keraton, sebuah konsistesnsi yang harus kita dukung. Tetap jaga kesehatan, patuhi protokol kesehatan supaya kita terhindar dari wabah dan selalu sehat dan aman.
Wallahu a’lam bis showab