PORTALJABAR – Pertumbuhan ekonomi yang mengesankan di Indonesia tidak sepenuhnya memberikan dampak positif bagi semua lapisan masyarakat. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi semakin membesar di tengah gemilangnya angka pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2022, pendapatan per kapita mencapai $4.580, namun di balik angka ini, masalah ketimpangan pendapatan semakin mengkhawatirkan.
Menurut laporan yang dirilis oleh BPS, ketimpangan kekayaan atau pendapatan di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Pada pertengahan Juli lalu, BPS melaporkan bahwa koefisien Gini, yang mengukur ketidaksetaraan pendapatan, naik dari 0,381 pada September 2022 menjadi 0,388 pada Maret 2023.
Perluasan ketimpangan ini dapat dilihat dari kenaikan perbedaan antara kelompok ekonomi atas dan bawah. Dalam enam bulan terakhir, jumlah orang terkaya dan termiskin mengalami peningkatan, yang tercermin dalam peningkatan angka Gini sebesar 0,007 poin.
BPS juga menguraikan bahwa perbedaan antara wilayah perkotaan dan pedesaan juga sangat mencolok. Menurut analisis BPS, koefisien Gini di perkotaan mencapai 0,409, sementara di pedesaan hanya 0,313. Menariknya, meskipun angka ketimpangan di pedesaan tetap tidak berubah sejak September 2022, ketimpangan di perkotaan justru mengalami fluktuasi. Angka ketidaksetaraan ini mencapai puncaknya pada Maret 2023, dengan rasio Gini mencapai 0,388, dibandingkan dengan 0,391 pada September 2019.
Muhammad Zeinny, Ketua Bidang Kebijakan Ekonomi & Investasi Hmi Cabang Bandung, mengemukakan pandangannya terkait ketidaksetaraan ini. “Pertanyaannya adalah siapa yang akan mendapat keuntungan dari penghasilan tambahan? Mungkin jumlah orangnya hanya sedikit, tapi nilainya membuat perbedaan. Organisasi pemeringkat Forbes menerbitkan daftar orang kaya di Indonesia setiap tahun,” ujarnya.
Namun, data dari Global Inequality Report yang dirilis oleh World Inequality Laboratory of Paris School of Economics menunjukkan gambaran yang lebih mengkhawatirkan. Pada tahun 2016, kelompok 50% terbawah hanya memiliki 5,46% dari total kekayaan ekonomi Indonesia. Hal serupa terjadi pada pendapatan, di mana kuintil 50% terbawah hanya menghasilkan Rp22,6 juta per tahun pada tahun 2021.
Muhammad Zeinny juga menyoroti perbedaan yang drastis antara kelas ekonomi atas dan bawah. “Dengan kata lain, seseorang dari kelas ekonomi atas berpenghasilan 19 kali lebih banyak daripada seseorang dari kelas ekonomi terendah. Publik sepertinya tidak kesulitan mencerna data di atas mengingat fakta yang ada di hadapan mereka. Namun, yang sulit dicerna adalah perwujudan promosi yang menjangkau kalangan menengah ke atas,” ungkapnya.
Dalam konteks ini, pertanyaan muncul mengenai definisi kelas menengah di Indonesia. Meskipun Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta saat ini mencapai Rp 4.901.798, setara dengan sekitar Rp 5 juta per bulan, pertanyaan muncul apakah gaji ini sudah cukup untuk menganggap seseorang berada di kelas menengah. Dengan mempertimbangkan biaya hidup, termasuk sewa, akomodasi, dan biaya lainnya, sisa penghasilan yang diperoleh tampaknya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta pendidikan anak-anak.
Mengingat situasi ini, beberapa pihak mendorong pemerintah untuk kembali merujuk pada tujuan negara yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa. Salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana tercermin dalam nilai-nilai Pancasila dan alinea awal UUD 1945. Hal ini mencakup aspek sandang, pangan, perumahan, serta kesehatan jasmani dan rohani.
“Ada baiknya juga pemerintah meninjau kembali isi sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia menekankan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak atas persamaan hukum, ekonomi, politik, dan budaya guna mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Semakin kita mendekati HUT ke-78 Republik Indonesia, semakin penting bagi kita untuk merenungkan ini. Hidup Indonesiaku,” tandas Muhammad Zeinny.