PORTALJABAR – Dunia sedang mengalami krisis sumber daya manusia (SDM), termasuk Indonesia. Menurut penelitian ManpowerGroup ketimpangan SDM telah meningkat 2x lipat dalam satu dekade terakhir. Lebih dari separuh pelaku bisnis global yang disurvei mengaku kekurangan SDM yang terampil.
ManpowerGroup juga menemukan lebih dari separuh perusahaan di Indonesia kesulitan menarik dan mempekerjakan kandidat yang tepat untuk membantu mereka mengembangkan bisnisnya. Meski faktanya, Indonesia memiliki jumlah angkatan kerja produktif sekitar 2 juta orang setiap tahunnya yang memasuki pasar.
Tapi khusus sektor teknologi yang lagi berkembang pesat, menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Indonesia kekurangan 9 juta pekerja teknologi pada 2030. Artinya, Indonesia memerlukan sekitar 600 ribu SDM digital yang memasuki pasar setiap tahunnya.
Jika lebih spesifik lagi, Indonesia juga masih kekurangan SDM coding. Baik itu programmer, desain grafis, ahli bahasa, dan profesi lainnya yang terkait keterampilan coding. Sebagai contoh, untuk mendukung 1.000 startup di Indonesia, maka butuh 100 ribu programmer.
Di negara-negara tetangga kegiatan belajar coding sudah dilakukan di sekolah formal, misalnya Singapura. Mereka menjadikan coding sebagai kurikulum wajib bagi siswa sekolah dasar (SD).
Meski Indonesia belum mewajibkan, tapi pemerintah sudah menyelenggarakan sekolah coding gratis seperti Coding Mum yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
“Industri IT salah satu sektor yang sedang naik daun saat ini. Tapi, saya dan para pendiri startup juga memiliki masalah yang sama, yakni susahnya mencari programmer yang kompeten,” kata Pendiri DumbWays, Ega Wachid Radiegtya.
DumbWays adalah salah satu penyedia coding bootcamp gratis di Indonesia. Berdiri sejak April 2018, kini mereka telah membuka kelas Fullstack Development dan DevOps untuk lulusan SMK atau S1 jurusan IT agar mereka bisa bekerja dengan layak sesuai jurusan serta mendapat gaji di atas UMR DKI Jakarta.
Ega mengaku sudah memiliki lebih dari 300 lulusan yang bekerja di lebih dari 150 perusahaan rekanan. Ia mencontohkan, ahli coding di Amerika Serikat (AS) yang bekerja sebagai desainer grafis saja rata-rata menghasilkan US$51.640 atau Rp750 juta dalam satu tahun.
Sementara ahli bahasa dari berbagai konsentrasi dan ahli bahasa komputasi, bisa menghasilkan US$91.307 atau Rp1,3 miliar per tahun. “Bekerja di salah satu bidang ini dan mampu membuat kode menggunakan JavaScript, Python atau bahasa pemrograman komputer apapun, akan memiliki karier yang aman dan stabil,” tutur Ega.