PORTALJABAR – Menyambut hari Kemerdekaan Indonesia ke-76, platform penyedia layanan streaming Mola TV menghadirkan film bertema sejarah Indonesia di masa penjajahan Belanda yang berjudul De Oost atau The East dalam bahasa Inggris.
Meski film De Oost sendiri merupakan film fiksi, namun cerita dalam film ini memiliki sisi historis yang menarik.
De Oost mengisahkan sosok Raymond Westerling, pemimpin Depot Speciale Troepen (DST), satuan khusus militer Belanda yang terlibat dalam operasi melawan pasukan anti-gerilya di Sulawesi Selatan yang berlangsung dari 1946 hingga 1947.
Namun, sudut pandang dari film ini berfokus pada seorang prajurit Belanda bernama Johan de Vries. Johan, yang diperankan aktor Belanda, Martijn Lakemeier merupakan tentara relawan Belanda yang berada dalam pasukan di bawah komando Raymond Westerling (diperankan oleh Marwan Kenzari) yang datang ke Indonesia pada 1946.
Dikirim ke daerah koloni Belanda yang tidak stabil
Film De Oost mengambil latar belakang pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia ke-2. Saat itu Belanda kembali menginjakkan kaki di Hindia (Indonesia) dengan alasan melindungi rakyat dan menjaga perdamaian di tanah jajahan.
Di awal cerita, film ini memperlihatkan beberapa tentara Belanda yang akan bersiap untuk dikirim kembali ke daerah-daerah koloni Belanda di Indonesia. Johan termasuk dalam tentara yang dikirim ke kamp Semarang. Semarang saat itu, memang menjadi daerah koloni Belanda yang situasinya sedang tidak stabil pasca konflik dengan Jepang.
Ada pemberontakan dari penduduk lokal yang sudah siap untuk menggaungkan kemerdekaan. Misi Johan adalah melindungi tanah properti Belanda tersebut dengan berpura-pura menjadi pelindung bagi penduduk.
Meski dengan gamblangnya membawa alasan tersebut, tidak lantas memuluskan misi Belanda agar diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat.
Bahkan penolakan yang paling keras melahirkan kelompok ekstrimis dari dalam negeri dengan pergerakan yang malah membahayakan sesama.
Melihat hal ini, muncul dalam pemikiran Johan untuk memberikan bantuan bagaimanapun caranya dan apapun bentuknya kepada orang Hindia.
Hingga suatu ketika pertemuan pertamanya dengan De Turk –orang Turki—alias Raymond Westerling, mengawali serangkaian kerja sama mereka yang berujung pada sebuah pilihan.
Konflik batin sang tokoh protagonis
Datang dengan misi yang dianggapnya “mulia”, Johan tak bedanya dengan jiwa-jiwa muda kebanyakan, siap berkorban dan melakukan sesuatu untuk negaranya.
Di kamp, kehidupan Johan pun berjalan normal. Ia melakukan aktivitas pada umumnya, pun berinteraksi dan menjalin persahabatan dengan teman-teman di kamp. Yang membedakan, tentu saja ada rasa bangga yang ia rasakan karena berhasil menjadi prajurit.
Johan yang saat itu sudah menjadi orang kepercayaan Westerling mulai menyadari sesuatu. Keberadaan Johan bersama dengan prajurit lainnya ternyata lebih dari sekedar misi melindungi tanah properti Belanda.
Apa yang dilihat dan dirasakan Johan di medan perang membuat keyakinannya pada kebijakan negara sendiri dipertanyakan. Tembakan demi tembakan kepada warga kampung yang dituding sebagai pemberontak meninggalkan trauma dan rasa bersalah pada Johan.
Sampai tiba suatu momen, Johan mulai bertanya-tanya pada dirinya apa yang sebenarnya mereka lakukan di sini.
Terlebih setelah menyaksikan aksi pembantaian yang dipimpin oleh orang yang sangat ia kagumi, Westerling.
Dari sinilah mulai diperlihatkan konflik batin dari sosok Johan, sang tokoh protagonis, yang juga dinilai menjadi inti dari “pesan” yang ingin disampaikan dari film ini.
Tim dibalik De Oost
Film yang digarap oleh sutradara Jim Taihuttu, seorang warga Belanda keturunan Maluku ini memang mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan.
Jim (39) yang juga merupakan seorang DJ dinilai sebagai orang yang tepat untuk mengangkat kisah ini menjadi cerita dengan perspektif yang berimbang.
Bukan hanya sosok Jim, dibalik film De Oost ini juga ada Sander Verdonk, asal Belanda, dan Shanty Harmayn, asal Indonesia, yang bersama-sama memproduseri film ini.
Dikutip dari laman bbc.com, Sander menceritakan bahwa di Belanda, perang di Indonesia ini jarang diketahui.
“Di Indonesia, semua orang tahu tentang Perang Kemerdekaan. Di Belanda, tak ada yang tahu atau hanya sedikit orang yang tahu. Mereka bahkan tak menyebutnya perang, tapi aksi polisional. Jadi, saya pikir perspektif historis ini menarik. Kakek buyut Jim meninggal dunia dalam perang ini, tapi dia tak pernah mendengar tentang peristiwa ini,” kata Sander.
Sander juga menjelaskan, selama melakukan riset sekitar empat tahun untuk film ini, ia dan tim mencoba untuk mengenali sosok Westerling yang disebut Sander layaknya “antagonis ideal”.
“Yang dilakukannya di dunia nyata sangat dramatis dan tragis. Kami hanya menunjukkan sedikit dari itu, tak sejahat dan seburuk yang terjadi sebenarnya. Tapi ini cara yang baik menunjukkan dua sisi dari perang ini. Orang Belanda tak mau membicarakan ini atau tidak tahu, apalagi mengetahui kejahatan perang yang terjadi,” kata Sander.
Masih dikutip dari laman bbc.com, dalam wawancara yang sama, Shanty mengatakan, di Indonesia sejarah terkait Westerling memang diajarkan di sekolah, tapi tidak secara detil.
“Yang menarik adalah ini film dari negara, yang pada dasarnya, mau menceritakan kejahatan perang yang mereka lakukan. Saya pikir ‘wow, ini berani’ dan ini adalah bagian dari sejarah kita,” kata Shanty.
Pro Kontra
Film besutan Jim dan tim tersebut memang fiktif, namun penggambaran Westerling di film itu, disebut sangat sedikit sisi fiktifnya.
Sejarawan Indonesia, Bonnie Triyana, memuji film itu, yang disebutnya berani melihat sejarah masa lalu dengan terbuka.
“Film ini menurutku simbol keberanian pembuat film Belanda, generasi muda Belanda, yang berani melihat sejarahnya sendiri dengan jujur dan terbuka. Ini progresif,” ujar pemimpin redaksi majalah Historia itu, seperti dikutip dari laman bbc.com.
Bonnie menambahkan, film De Oost layaknya “pukulan telak” dan “tamparan keras” bagi mereka yang disebutnya “kelompok kanan” dan “retrogresif” di Belanda.
Namun demikian, meski mendapat pujian dari beberapa kalangan, film ini juga tidak luput dari kritik. Salah satunya muncul dari putri Westerling, Palmyra.
Dia tak sepakat dengan penggambaran sosok ayahnya dalam film itu. Dalam sebuah surat terbuka, Palmyra mengatakan sejarah kolonial Belanda yang kompleks.
Namun, menurutnya, generasi saat ini kerap mencoba menceritakan sejarah tanpa penyelidikan yang tepat, cenderung melakukannya secara sepihak, dan dengan pendekatan yang subjektif.
Sehingga ia menyebut film De Oost sebagai fantasi yang memutarbalikkan fakta dan menyebarkan kebohongan.
Selain kritikan dari putri Westerling sendiri, film De Oost juga sudah diprotes sejumlah organisasi di Belanda termasuk federasi veteran Indo di Belanda (FIN). FIN bahkan mengajukan gugatan kepada pembuat film De Oost namun pengadilan memutuskan pembuat film De Oost tidak bersalah.
Meski jadi pro dan kontra, produser film Sander Verdonk, mengatakan puas karena film berdurasi sekitar dua setengah jam ini telah membuka ruang diskusi soal masa lalu di Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebutnya sebagai ‘narasi satu arah’ tak lagi berlaku.
“Langkah kedepannya yang bisa dilakukan, menurut saya, adalah diskusi yang lebih banyak antara pihak Belanda dan Indonesia,” ujarnya.
Film De Oost (The East) merupakan film Belanda pertama yang ditayangkan Amazon Prime Video. Dikutip dari laman IMDb, film berdurasi 2 jam 17 menit ini ber-genre drama, thriller, dan perang, yang dirilis pada 13 Mei 2021 di Belanda.
Selain Martjin Lakemeier yang berperan sebagai Johan de Vries dan Marwan Kenzari sebagai Raymond Westerling, film De Oost juga menampilkan sederet cast atau pemain yang berasal dari Belanda, seperti Jonas Smulders sebagai Mattias Cohen, Abel van Gijlswijk sebagai Charlie, Coen Bril sebagai Eddy Coolen dan beberapa nama lainnya.