PORTALJABAR – Bukalapak mencatatkan saham perdana alias IPO dua pekan lalu (6/8). Sedangkan Gojek dan Tokopedia merger menjadi GoTo. Investor dari kalangan modal ventura memperkirakan, IPO, merger dan akuisisi startup masih akan menjadi tren tahun depan.
CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro memprediksi, banyak startup menjalankan exit strategy pada tahun depan. Exit strategy adalah pendekatan yang direncanakan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang berfokus memaksimalkan keuntungan dan/atau meminimalkan kerugian, seperti IPO, merger, dan akuisisi.
“Banyak startup yang merasa bahwa IPO menjadi salah satu opsi menarik. Opsi ini bisa memberikan likuiditas ke investor atau pendiri,” ujar Eddi kepada media online, Senin (16/8).
Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani sepakat bahwa tren IPO akan berlanjut tahun depan. “Unicorn akan go public. Ini menjadi tren positif,” ujar Edward.
Selain IPO, Edward memperkirakan bahwa merger dan akuisisi menjadi tren tahun depan. “Masih akan dilakukan oleh startup,” ujarnya.
Setelah Bukalapak, setidaknya ada lima startup yang berencana IPO yakni Kredivo, GoTo, Traveloka, Tiket.com, dan Tanihub.
Penyelenggara teknologi finansial (fintech) Kredivo mempertimbangkan IPO di dua bursa yakni Amerika Serikat (AS) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Berikutnya Tiket.com yang mengkaji IPO lewat merger dengan perusahaan akuisisi bertujuan khusus alias SPAC COVA Acquisition Corp. Sumber Bloomberg yang mengetahui masalah ini menyampaikan, entitas gabungan berpotensi menghasilkan valuasi US$ 2 miliar.
Startup pariwisata atau online travel agent (OTA) lain, Traveloka juga berencana IPO lewat SPAC atau perusahaan cek kosong asal Hong Kong, Bridgetown Holdings Ltd. Apabila merger terwujud, entitas gabungan keduanya diprediksi US$ 5 miliar atau Rp 73 triliun.
Kemudian, perusahaan gabungan Gojek dan Tokopedia, GoTo bersiap IPO di dua bursa yakni AS dan BEI. Decacorn teknologi ini dikabarkan tengah berdiskusi dengan para investor untuk mengumpulkan dana US$ 2 miliar atau setara Rp 28,9 triliun.
Startup bidang pertanian, TaniHub Group juga mengkaji IPO. Namun CEO TaniHub Group Pamitra Wineka mengatakan, butuh waktu untuk bisa melantai di bursa saham.
Selain mengkaji IPO, TaniHub mempertimbangkan potensi merger maupun akuisisi perusahaan lain. Eka mengatakan bahwa aksi korporasi seperti merger dan akuisisi berpotensi mempercepat upaya perusahaan untuk tumbuh dan mendorong efisiensi.
Sejak awal tahun, ada beberapa startup yang melakukan merger dan akuisisi. Warung Pintar misalnya, mengakuisisi perusahaan rintisan logistik, Bizzy Digital pada Februari.
Sedangkan Gojek dan Tokopedia merger dan membuat entitas baru bernama GoTo pada Mei. Setelah resmi bergabung, valuasi dari grup GoTo diperkirakan US$ 35 miliar – US$ 40 miliar.
Ernst & Young (EY) mencatat bahwa perusahaan teknologi mendominasi IPO secara global selama semester I tahun ini. Volume IPO secara global meningkat 140% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 1.070.
Dari sisi nilai meningkat 215% yoy atau US$ 222 miliar. Sebanyak 27% di antaranya atau 284 IPO merupakan perusahaan teknologi. Nilainya US$ 90,2 miliar.
“Sektor teknologi memimpin dari sisi jumlah transaksi sejak kuartal III 2020,” demikian dikutip dari keterangan resmi EY, pada Juli (28/7).
Di Indonesia, Bukalapak sudah IPO. Harga saham emiten dengan kode BUKA ini melejit 24,71% menjadi menjadi Rp 1.060 saat melantai di bursa.
Sejak pekan lalu, harganya terus menurun. Hari ini, harga saham BUKA turun 6,74% menjadi Rp 830. Nilainya berada di bawah harga penawaran umum perdana Rp 850 per lembar.
Selain IPO, Ernst & Young (EY) memperkirakan bahwa startup Indonesia masif merger dan akuisisi tahun ini. Itu bertujuan mendapatkan untung pada 2022.
Dalam laporan berjudul EY Global Capital Confidence Barometer, 98% perusahaan meninjau strategi dan portofolio secara komprehensif selama pandemi corona. Mereka bakal berfokus pada investasi.
Selain itu, 37% perusahaan berencana melakukan aksi korporasi seperti merger dan akuisisi secara aktif selama pandemi Covid-19.
Ketika ditanya terkait strategi setahun, setelah awal pandemi 2020 lalu, 13% perusahaan mempertimbangkan untuk mengakuisisi. Ini untuk mengambil potensi pertumbuhan baru.
“Transaksi akuisisi akan terus terjadi,” kata Strategy and Transactions Leader EY Indonesia David Rimbo saat konferensi pers virtual, pada April (7/4).
Laporan EY tersebut sejalan dengan riset PwC bertajuk Global M&A Industry Trends yang dirilis pada Maret. PwC mencatat, volume merger dan akuisisi perusahaan teknologi global meningkat 34% yoy pada semester II tahun lalu.
Dari sisi nilai, meningkat 118%. Secara keseluruhan, volume merger dan akuisisi sepanjang semester II 2020 meningkat 18%. Sedangkan nilainya naik 94%.
Sumber: Katadata.co.id