PORTALJABAR – Vila Real de Santo Antonio, Kalau dengar kata Portugal, apa yang terbesit pertama kali di pikiran? Christian Ronaldo pasti… Lisabon mungkin? Atau Porto?
Sebenarnya, banyak sekali tempat yang indah di sini. Hanya saja kalah saing dengan negara-negara eropa lain yang lebih wow.
Saat ini saya bersama dengan Luís, pasangan saya, berpetualang dengan bersepeda di Portugal. Dengan adanya pandemi yang sampai saat ini belum stabil, kami hati-hati betul memilih jalur yang akan kami lalui sebelum kami memulai perjalanan ini.
Selain itu, kami juga memperhitungkan cuaca dan musim turis yang biasanya meningkat di musim panas untuk menghindari kerumunan.
Oleh karena alasan itu semua, kami memutuskan untuk memulai petualangan kami di Vila Real de Santo Antonio, di sudut tenggara di negara yang hanya sebesar Pulau Jawa ini.
Berfokus pada Sungai Guadiana, kami bersepeda selama tujuh hari melewati kota dan desa bersejarah yang mempesona.
Hari ke-1, Vila Real de Santo Antonio
Kota Vila Real de Santo Antonio terletak di ujung paling timur Algarve, di mana Sungai Guadiana bertemu dengan Samudra Atlantik.
Kami memutuskan untuk memulai petualangan kami di sini karena masih terbilang tenang, tidak seperti di kota-kota pesisir Algarve lainnya yang mulai dari akhir Mei sudah banyak turis yang datang.
Kota ini juga unik karena tata kotanya lebih menyerupai Lisbon dengan alun-alun yang lapang berdekorasi ala Pombal.
Alasan lain kami suka di sini tidak lain karena letaknya diapit dua taman nasional: Cagar Alam Rawa Castro Marim dan Vila Real de Santo António dan hutan nasional bukit pasir pantai Vila Real de Santo Antonio, yang membuat kota ini strategis untuk menjadi base camp bagi para pecinta alam.
Anehnya, selama saya mencari tahu tentang Vila Real de Santo Antonio, tidak ada yang menyebutkan tentang pantai hijau yang terletak di ujung paling selatan kota ini.
Mungkin karena warna hijau ini berasal dari rumput laut, jadi menurut orang lokal biasa saja. Tetapi menurut saya justru mempesona. Saya sangat merekomendasikan untuk berkunjung ke pantai hijau ini.
Tempat paling keren untuk bermalam di sini adalah di Grand House Algarve (sebelumnya Hotel Guadiana).
Selain berada di Avenida da República (jalan utama), hotel ini menghadap ke Sungai Guadiana yang indah dengan pemandangan kota Ayamonte di seberang sungai.
Dirancang oleh arsitek Ernesto Korrodi, seorang Swiss yang dinaturalisasi, dengan karya besar di Leiria.
Hari ke-2, Alcoutim
Dari Vila Real de Santo Antonio, kami bersepeda menuju Alcoutim melewati jalan-jalan kecil khusus trekking untuk menghindari jalanan utama yang biasa dilewati mobil.
Tidak disangka, jalanan yang kami pilih ternyata lebih berat daripada yang kami bayangkan.
Meskipun kami sudah pernah bersepeda di Amerika Selatan dan Afrika selama hampir tiga tahun, otot-otot yang dikarantina setahun ini harus dilatih lagi. Setelah beberapa kilometer, tepatnya 54 km, akhirnya kami tiba di Alcoutim.
Desa Alcoutim ini berukuran lumayan kecil, berkeliling dengan berjalan kaki pun asyik, saking kecilnya.
Karena lokasi dan karakteristik geografisnya, Alcoutim dapat dikunjungi sepanjang tahun. Selama musim semi dan musim gugur suhu udara sangat nyaman untuk menikmati semua potensi tujuan wisata alam di sekitar.
Sedangkan di musim panas, suhu udaranya panas dan kering, tetapi Sungai Guadiana senantiasa mendinginkan badan.
Dan bahkan di musim dingin, kota mungil ini mempunyai suhu yang segar untuk memanfaatkan pengalaman autentik yang ditawarkan oleh daerah sekitar.
Satu hal lagi yang menarik di Alcoutim adalah pemandangan di sisi lain Sungai Guadiana, Desa Sanlúcar, Spanyol. Kalau mau, bisa menyeberang ke sana, berkeliling di desa yang tidak kalah indahnya, lalu kembali lagi ke Portugal.
Waktu kami datang, kami sudah sangat lelah. Pikiran kami hanya ingin mandi, makan, lalu tidur karena esok paginya, kami harus bersepeda lagi menuju ke Mértola.
Hari ke-3, Mértola
Perjalanan ke Mértola jalurnya lebih pendek (31 km) daripada sehari sebelumnya. Kali ini kami melalui jalur utama di beberapa bagian karena memang tidak ada jalan tikus.
Hari itu kami meninggalkan wilayah Algarve dan memasuki wilayah Alentejo. Pemandangan di sekitar perlahan berganti kuning kecoklatan. Garis horizon semakin menjauh dan meluas penuh dengan padang gandum.
Mértola terletak di bagian tenggara wilayah Alentejo di Portugal. Saya tidak pernah mendengar tentang kota ini sampai saya merencanakan perjalanan ini – Bike & Sketch Portugal Tour – dan menjadi salah satu tempat tujuan utama saya.
Kesan pertama saat kami melihat desa Mértola dari jauh sangat menakjubkan.
Kastelnya tepat berada di atas tebing dan rumah-rumah penduduknya berdinding putih keemasan, menyerap cahaya matahari yang mulai terbenam. Rumah-rumah tersebut dibangun menyesuaikan lereng tebing yang menurun sampai bibir sungai Guadiana.
Perlahan kami menuruni bukit dengan sepeda menikmati apa yang tampak di depan kami sambil merasakan angin menyegarkan badan yang berkeringat.
Selain menawan, Mértola juga mempunyai banyak sejarah. Karena lokasinya tepat di sebelah sungai Guadania, desa ini dulunya merupakan titik perdagangan yang sangat penting.
Hal ini pula yang membuat tempat ini menawarkan perpaduan budaya Kristen Romawi dan Islam Mediterania yang membuatnya semakin mempesona.
Hari ke-4, Mina de Sao Domingos
Dari Mértola kami bersepeda ke Mina de Sao Domingos. Perjalanannya tidak jauh, hanya 15 km. Jalur yang kami lalui 100 persen beraspal dan mendung sepanjang hari yang membuat foto-foto saya terlihat membosankan.
Meskipun letaknya agak jauh dari sungai, pertambangan ini mempunyai sejarah yang penting karena perusahaan Inggris, Mason dan Barry, membuat pelabuhan di sungai Guadiana.
Mereka juga membuat jalur rel kereta api sepanjang 18 km. Di tempat ini, Portugal mempunyai lampu listrik untuk pertama kalinya.
Mina de Sao Domingos letaknya masih berada dalam Taman Nasional Lembah Sungai Guadiana.
Selama perjalanan ke sini, kami banyak melihat berbagai macam burung, seperti burung bangau, burung walet, dll.
Selain burung-burung yang kami lihat, saya kurang menikmati desa ini. Reruntuhan pertambangan yang lumayan besar dari abad 18-19, danau asam yang katanya terkenal pun tidak memikat saya.
Setelah ini, kami bersepeda menuju Serpa. Jalur yang kami lalui masih 100 persen beraspal, tetapi bukan jalan utama sejauh 40 km. Melewati ladang-ladang gandum dan almond yang berpagar hampir sepanjang jalan.
Hari ke-5, Serpa
Serpa menerima kami dengan ketenangan. Tim sepak bola nasional Portugal bertanding melawan tim sepak bola nasional Jerman ketika kami datang sehingga hampir tidak ada mobil atau orang di jalan.
Walaupun Portugal kalah 2-4, orang-orang di Serpa tidak menunjukkan kesedihan sama sekali waktu kami makan malam di sebuah restoran dekat dengan dinding kastil, restoran Molho Bico.
Banyak orang yang merekomendasikan tempat ini. Bukan hanya karena rasa makanannya yang enak, tapi makanan-makanan yang mereka sediakan juga khas dari daerah ini.
Kami juga menikmati ‘cante o vinho’ yang artinya nyanyian anggur.
Satu grup musik (bukan boyband) bernyanyi di restoran yang kami datangi malam itu.
Mungkin makan sambil ditemani dengan musik sudah biasa, tetapi hal yang membuat saya terpukau adalah semua orang yang ada di restoran ikut bernyanyi, mulai dari pemilik restoran dan pegawai-pegawainya, sampai anak kecil juga ikut bernyanyi.
Cante adalah tradisi khas Alentejo yang hampir semua lirik lagunya menceritakan sejarah tiap-tiap daerah. Bukan hanya sejarah jaman kerajaan, tetapi sejarah apa saja.
Contohnya lirik lagu tentang mesin kopi yang pertama kali ada di sini. Mungkin, dalam waktu dekat bisa saja ada lagu tentang TikTok? Hehe…
Hari ke-6, Mourão
Perjalanan dari Serpa ke Mourão cuaca tidak mendukung sama sekali. Hujan terus sepanjang 65 km.
Saya paling tidak suka bersepeda ketika hujan karena tidak bisa menikmati pemandangan sekitar. Untungnya, ketika sampai Mourão, tidak lagi hujan.
Setelah mandi dan ganti baju, Ibu Ana, pemilik penginapan mengantar kami berkeliling kota kecil ini dan menjelaskan sejarah kota ini.
Beliau bercerita bahwa Kota Mourão selalu kuat dalam pertanian, penuh dengan kebun zaitun, ciri khas wilayah ini.
Di pinggiran danau yang dibentuk oleh sungai, pemandangan indah dan bahkan ada pantai air tawar yang biasa orang Portugis sebut ‘fluvial’.
Alkisah, wilayah Alentejo dulunya adalah bumi gandum. Ada begitu banyak gandum sehingga dikenal karena rotinya.
Sekarang, anak-anak muda pergi ke kota-kota besar untuk mencari lebih banyak peluang daripada bekerja di ladang yang panas.
Dan sejak adanya bendungan Alqueva, Alentejo memiliki lebih banyak pohon pinus, pohon almond, dan pohon zaitun yang membuatnya lebih hijau daripada dahulu kala.
Sering kali yang membuat suatu tempat berkesan bukan indah atau pun mewah, tetapi orang yang kami jumpai. Di Mourão, kami mendapatkan semua.
Hari ke-7, Monsaraz
Hari terakhir kami bersepeda menelusuri Sungai Guadiana dengan bersepeda. Jarak tempuh hanya 15 km, penuh dengan keindahan sungai di kanan-kiri kami.
Dari jauh, kami masih bisa melihat Kastel Mourão di sisi kiri. Dan ketika sudah tidak terlihat, kami bisa melihat Kastel Monsaraz di sisi kanan.
Desa bersejarah dan salah satu yang tertua di Portugal, adalah alasan wajib untuk menambahkan Monsaraz ke daftar tempat untuk dikunjungi di Alentejo.
Apalagi setelah desa ini masuk dalam salah satu dari 7 keajaiban Portugal pada tahun 2017.
Berkeliling Monsaraz bagaikan berkelana mengarungi zaman lampau dan modern. Ada begitu banyak yang bisa dilihat dan dirasakan di “mesin waktu” yang menawan ini.
Malam ini, kami berselimut bintang dengan nyaman di salah satu restoran di Monsaraz. Mencicipi makanan tradisional Alentejo terbaik dan memandangan Danau Alqueva melengkapi nirwana indrawi.
Dari tempat-tempat dan jalur-jalur yang kami lewati di sekitar Sungai Guadiana, saya paling menikmati dari kota Mourão ke Monsaraz. Bukan karena jalurnya pendek tapi pemandangannya yang bikin hati adem ayem.
Total bersepeda dari Vila Real de Santo Antonio sampai Monsaraz sejauh 248 km melewati beragam jalur, mulai dari jalan tikus sampai jalan utama.
Berhubung daerah ini bisa dibilang daerah terpencil di Portugal, tidak banyak mobil yang lewat atau pun turis yang berkunjung ke tempat-tempat yang saya sebutkan di atas.
Dengan ini semua, saya dan Luís merasa nyaman berkeliling dengan sepeda dalam masa pandemi.
Anisa Subekti saat ini aktif bersepeda keliling dunia bersama Luís Simões yang menggagas World Sketching Tour. Kegiatan penulis bisa diketahui melalui Instagram-nya di @anyisa
Di tengah pandemi virus Corona, perjalanan wisata masih dikategorikan sebagai perjalanan bukan darurat, sehingga sebaiknya tidak dilakukan demi mencegah penyebaran dan penularan Covid-19, terutama di daerah yang masih minim fasilitas kesehatannya.
Jika hendak melakukan perjalanan antarkota atau antarnegara, jangan lupa menaati protokol kesehatan pencegahan virus Corona, dengan mengenakan masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak fisik antarpengunjung. Jangan datang saat sakit dan pulang dalam keadaan sakit.