PORTALJABAR, – Ini adalah pengalaman yang saya alami sendiri setelah terjun dan menjadi seorang programmer, dan kali ini hitungannya menginjak tahun ketiga. Kenapa programmer? Saya memang mempunyai kecenderungan untuk mengarah ke sana. Bagi saya menjadi programmer itu cool dan tentu saja cult mengingat saya berasal dari kampung di sebuah kabupaten Karawang yang seringkali dianggap ‘inferior’ nan terbelakang oleh kebanyakan orang. Maka, dengan kekerenanlah wajah kampung saya di mata dunia dapat menjadi attention-able. Menjadi programmer adalah langkah awal, begitu kata pikiran saya saat itu.
Seperti dalam film tersebut, Tony Stark, yang diperankan oleh aktor Robert Downey Jr., sang tokoh utama itu mampu mendesain sebuah baju robot lalu mengkonstruksinya sedemikian rupa. Alhasil, baju tersebut pun tampak sangat canggih sekali, interface oke, pemogramman yahud, dan tidak lupa juga Tony menciptakan Artificial Intelegence (AI) bernama Jarvis yang dapat diajak ngobrol dan melakukan tugas lainnya yang ia perintahkan.
Dalam film yang diperankan oleh aktor yang sempat menyemat predikat aktor dengan bayaran tertinggi pada tahun 2015 versi majalah Forbes itu adalah seorang yang memiliki ketertarikan pada mesin. Tony Stark digambarkan sebagai seseorang yang sangat cerdas dan lulus dari Universitas MIT dengan jurusan Teknik Mesin.
Mengikuti jejak ayahnya yang seorang ilmuan, Tony Stark tumbuh menjadi seorang ilmuan yang cerdas, jenius dan tentu saja kaya raya. Buah memang tidak jatuh dari akarnya. Stark menciptakan berbagai macam jenis persenjataan untuk perang yang dia buat sendiri di bawah panji Stark Industries, yakni perusahaan yang dibuat peluh payah oleh sang ayah. Tapi bukan hal itu yang membuat saya tertarik sekali dengan film ini, melainkan pada penemuan baju robotnya yang membuat ia dijuluki Iron Man.
Digambarkan pada film tersebut, Tony Stark mengalami banyak kegagalan dalam membuat baju robotnya, jalan terjal panjang pun ia tempuh penuh kerja keras dengan optimisme menyaingi ketinggian gunung Semeru. Persistensi itu pun membuahkan ceruk yang manis, Mr. Stark, begitulah ia disapa, akhirnya mampu membuat model baju robot dengan spek berteknologi melampaui zamannya. Bahkan bukan hanya satu jenis namun bermacam-macam. Bagi saya, jelas itu terlihat keren mentereng.
Dalam film ini saya mengambil pelajaran penting tentang keberhasilan, ya, intinya kesuksesan tidak dapat diraih dengan mudah tanpa adanya keyakinan dan kerja keras. Dan yang pasti meraih sukses itu tak semelambai bacotnya para motivator megalomaniak par excellence yang sering nongkrong di televisi tahun-tahun lalu, tapi untungnya saya jarang nonton televisi. Lebih baik saya melihat chanel Ki Prana Lewu di Youtube tinimbang menonton televisi.
Semenjak nonton film Iron Man ini saya jadi kecanduan untuk terus melek pada yang berbau teknologi, dan semenjak lulus MA saya melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan Sistem Informasi, dalam perjalanannya saya pun menikmati jurusan yang saya ambil ini.
Beberapa semester mulai terlewati, saya mulai sedikit paham cara membuat sebuah software kecil-kecilan dan dari situ otak saya mulai bekerja dan mengeluarkan ide-ide yang kadang tak diduga, terpikirlah untuk memulai membuat sebuah startup waktu itu, memang terdengar sinting baru tahu tentang IT saja mikirnya sudah ketinggian. Ya, begitulah gairah kawula muda.
Mulailah saya dan teman-teman saya membuat startup yang saya beri nama Cyberindo Tech, bertujuan untuk memperluas dakwah seorang ustadz atau ustadzah melalui aplikasi yang saya bangun agar bisa bermanfaat buat publik, sehingga dakwah yang disampaikan oleh seorang ustadz bisa sampai ke seluruh penjuru dunia. Ya, minimal Indonesia deh. Begitu, pikir saya.
Saya pun mulai membuat aplikasi tersebut, karena terhalang dana waktu itu akhirnya kita hosting aplikasinya di hostingan gratisan. Aplikasi saya pun jalan dan saya pun mulai mencari investor kecil-kecilan, padahal waktu itu saya belum ada pengetahuan sampai sana tapi akhirnya saya bersama teman-teman memberanikan diri, dan ternyata ada orang yang tertarik dengan ide saya ini.
Bodohnya saya pada saat itu saya tak membeli hosting sendiri dan selalu berpikir ini belum waktunya, karena tim saya selalu berpikir untuk menjadi sempurna baru kita bicara publikasi secara nyata. Saya pun mulai saling mementingkan ego masing-masing, ada yang tujuannya duit (siapa yang tak mau?), ada yang tujuannya amal, ada yang tujuannya popularitas dan macam-macam. Yang jelas mereka seakan melupakan tujuan awal dari project tersebut, akhirnya kejadian yang tak diduga pun muncul. Website dengan nama dan konten yang hampir mirip pun muncul, akhirnya kita saling menyalahkan. Sialan!
Dari sini pun saya mengambil pelajaran berharga, semua orang memiliki ide dan cita-cita yang besar tapi mereka berpikir kalau ide dan cita-cita besarnya itu ingin terlihat sempurna dan selalu berpikir nanti dulu, ini belum oke, nanti dulu gimana kalau orang lain gak suka, nanti dulu kayanya ini gak akan bagus deh di masyarakat, nanti dulu, nanti dulu, dan nanti dulu. Terkadang mereka lupa jika yang pertama itu yang terbaik sebab dalam dunia yang tak nampak ini (baca: Digital) kelambanan merupakan mimpi buruk. Ide yang baik adalah ide yang dieksekusi.
Mungkin jika Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Bill Gates, Larry Page berpikir nanti dan nanti dan nanti dulu, barangkali bukan nama mereka yang akan kita kenal di dunia teknologi saat ini.
Setelah kejadian itu saya sudah mengubur mimpi dalam-dalam soal berkarya sendiri di dunia teknologi dan tujuan saya pun berubah yaitu, kerja. Menjadi sekrup dan roda kapitalisme lanjut.
Kontributor : Supriyatna
Discussion about this post