Pilkada Sukabumi 2024 menjadi sorotan publik, khususnya dengan dua pemilihan penting, yaitu calon Wali Kota dan Bupati. Terdapat tiga pasangan calon (paslon) untuk posisi Wali Kota dan dua paslon untuk Bupati. Namun, yang menarik perhatian adalah minimnya peran serta anak muda dalam proses politik ini. Mereka tampaknya hanya dianggap sebagai komoditas politik, bukan sebagai agen perubahan yang aktif.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 30% dari populasi Sukabumi adalah anak muda berusia 15-30 tahun. Namun, berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga riset independen, hanya 15% anak muda yang merasa terlibat dalam proses politik lokal, termasuk Pilkada. Ketidakpuasan ini menunjukkan adanya jarak antara calon pemimpin dan generasi muda, yang seharusnya menjadi kekuatan dalam menentukan arah pembangunan daerah.
Seperti yang diungkapkan oleh filsuf John Dewey, “Democracy is not just a form of government; it is primarily a mode of associated living.” Pandangan ini menunjukkan bahwa keterlibatan anak muda dalam politik adalah esensial untuk membangun masyarakat yang demokratis. Banyak anak muda merasa suara mereka tidak didengar, dan ketika calon-calon yang ada lebih fokus pada strategi untuk menarik suara, mereka mengabaikan potensi kontribusi generasi ini.
*Kritik terhadap Perilaku Politisi*
Sikap politisi yang hanya melihat anak muda sebagai komoditas politik sangat mencolok dalam setiap kampanye. Beberapa paslon berusaha menarik perhatian dengan jargon yang menarik, namun ketika ditanya tentang program yang spesifik untuk anak muda, banyak yang tidak mampu memberikan jawaban yang memadai. Misalnya, program pelatihan keterampilan atau penyediaan lapangan kerja yang relevan seringkali tidak muncul dalam visi misi mereka.
Kritik ini bukan tanpa dasar. Dalam penelitian yang dipublikasikan oleh Universitas Indonesia, ditemukan bahwa hanya 10% dari program kampanye yang secara eksplisit menyebutkan peran atau kebutuhan anak muda. Hal ini mengindikasikan kurangnya perhatian terhadap isu-isu yang relevan bagi generasi muda, seperti pendidikan dan kesempatan kerja. Seperti yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, “Be the change that you wish to see in the world.” Anak muda harus diberi kesempatan untuk menjadi agen perubahan, bukan hanya obyek yang dimanfaatkan.
## Perlunya Ruang untuk Anak Muda
Melihat fenomena ini, penting untuk menciptakan ruang bagi anak muda agar dapat berperan aktif dalam politik. Salah satu solusinya adalah melalui forum diskusi antara calon pemimpin dan pemuda. Melibatkan anak muda dalam merumuskan kebijakan dapat meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap daerah. Selain itu, pendidikan politik di kalangan anak muda perlu ditingkatkan agar mereka memahami pentingnya keterlibatan dalam proses demokrasi.
Calon pemimpin perlu menyadari bahwa anak muda bukan hanya pemilih, tetapi juga mitra strategis dalam pembangunan daerah. Mengedepankan program-program yang melibatkan mereka secara langsung akan membawa manfaat jangka panjang bagi Sukabumi. Seperti kata Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Pendidikan politik yang baik akan membekali anak muda dengan alat untuk berkontribusi.
Pilkada Sukabumi 2024 harus menjadi momentum untuk mendorong peran serta anak muda dalam politik. Jika calon pemimpin terus menganggap anak muda hanya sebagai alat untuk meraih suara, maka mereka akan kehilangan potensi besar yang bisa dibawa oleh generasi ini. Melalui keterlibatan yang lebih aktif, anak muda dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi masa depan Sukabumi yang lebih baik.
Dengan meningkatnya kesadaran dan partisipasi anak muda, diharapkan politik di Sukabumi akan menjadi lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, “The world will not be inherited by the strongest, but by those who are most responsible.” Ini saatnya anak muda untuk mengambil tanggung jawab dan berkontribusi dalam menentukan arah pembangunan daerah.
Penulis : Galih Permana, S.E