PORTALJABAR – Kebebasan pers kembali mendapat ancaman serius setelah delapan aktivis pers mahasiswa mengalami kekerasan dan intimidasi dari aparat keamanan saat meliput aksi demonstrasi di Universitas Negeri Malang (UM).
Aksi yang digelar mahasiswa tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap pengesahan RUU TNI yang dinilai mengancam supremasi sipil dan demokrasi.
Kejadian ini menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap jurnalis, setelah sebelumnya terjadi aksi teror terhadap wartawan dan kantor majalah Tempo. Peristiwa di Malang ini memicu kecaman dari berbagai pihak, salah satunya datang dari Program Manajer Medialink, Leli Qomarulaeli.
“Kejadian ini mengulang masa-masa gelap demokrasi kita. Apa yang terjadi dalam aksi kekerasan terhadap aktivis pers mahasiswa di Malang merupakan bentuk serangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi,” ujar Leli dalam siaran persnya.
Menurutnya, pers mahasiswa memiliki hak yang sama dengan pers umum, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini menjamin kebebasan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia dan demokrasi yang harus dilindungi.
Leli menegaskan bahwa tindakan represif aparat terhadap jurnalis kampus bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman bagi kebebasan akademik dan kebebasan berbicara di lingkungan pendidikan.
“Kami mengecam dan mengutuk keras tindakan aparat yang bersikap kasar dan arogan. Ini bukan hanya ancaman terhadap kebebasan pers, tetapi juga mimbar bebas di kampus,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pers mahasiswa memiliki peran penting dalam sejarah reformasi Indonesia. Pada era Orde Baru, pers mahasiswa sering mengalami tekanan, baik dari internal kampus maupun pemerintah, karena keberaniannya mengangkat isu-isu politik yang sensitif. Namun, dengan kegigihan mereka, pers mahasiswa menjadi salah satu elemen penting dalam perjuangan menuju reformasi.
Kini, tindakan aparat keamanan terhadap pers mahasiswa di Malang disebut sebagai bentuk kemunduran demokrasi di era pemerintahan Prabowo Subianto.
“Negara harus menegaskan jaminan hak masyarakat untuk berpendapat dan berekspresi. Pers adalah pilar demokrasi, dan yang terjadi sekarang adalah bentuk regresi demokrasi yang harus dihentikan,” ujar Leli.
Ia mengajak semua pihak untuk tidak menganggap kekerasan terhadap pers sebagai hal biasa.
“Tindakan ini bukan hanya ancaman bagi jurnalis, tetapi juga bagi publik yang ingin bersuara kritis. Kita tidak boleh diam,” pungkasnya.
Kasus ini semakin mempertegas tantangan besar yang dihadapi kebebasan pers di Indonesia. Jika dibiarkan tanpa tindakan tegas, ancaman terhadap demokrasi bisa semakin nyata. (Joe)